Kesenjangan Pendidikan di Daerah Tertinggal, Terluar dan Terdepan (3T): Analisis Legislasi dan kebijakan

photo author
- Senin, 8 Desember 2025 | 13:34 WIB
Ilustrasi AI atas Kesenjangan pendidikan.
Ilustrasi AI atas Kesenjangan pendidikan.

Kyla Hamidah Hidayat

Mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendidikan di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) terus menjadi gambaran paling nyata tentang ketimpangan struktural yang belum terselesaikan di Indonesia. Ketika sekolah-sekolah di Jakarta dan kota besar berlomba memasukkan perangkat digital, robotika, hingga pembelajaran berbasis kecerdasan buatan, banyak sekolah di NTT, Papua, dan Maluku masih berjuang memenuhi kebutuhan paling dasar seperti ruang kelas layak, akses listrik, atau ketersediaan guru.

Data Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa lebih dari 10.000 sekolah 3T mengalami kerusakan fisik dan sekitar 4.000 sekolah tidak memiliki listrik stabil. Bahkan, menurut laporan UNESCO 2024, Indonesia masih berada di bawah rata-rata ASEAN dalam indeks pemerataan pendidikan, terutama pada indikator partisipasi pendidikan menengah di wilayah terpencil. Ketimpangan fundamental ini menunjukkan bahwa kesenjangan pendidikan di 3T bukan sekadar isu teknis, tetapi masalah ketidaksetaraan struktural yang memengaruhi masa depan generasi muda.


Kondisi Riil Pendidikan di Wilayah 3T

Di banyak wilayah 3T, kondisi pendidikan diperburuk oleh minimnya tenaga pengajar. Data Kemendikbud 2024 mencatat bahwa rasio guru–murid di beberapa kabupaten 3T mencapai 1:40, jauh dari standar ideal 1:20. Kondisi geografis yang sulit dijangkau membuat distribusi guru tidak merata, sehingga sekolah-sekolah sulit mendapatkan pendidik berkualitas. Ketika pemerintah kota dapat merekrut guru dengan kualifikasi tinggi dan akses pelatihan profesional lengkap, sekolah-sekolah di pegunungan Papua atau pulau-pulau kecil terluar bahkan kesulitan mempertahankan guru yang sudah ada karena keterbatasan insentif dan fasilitas.

Situasi ini menciptakan lingkaran ketertinggalan: kurangnya guru berkualitas menurunkan mutu pembelajaran, rendahnya mutu pembelajaran mengurangi minat siswa untuk bersekolah, dan rendahnya partisipasi pendidikan menurunkan kualitas sumber daya manusia di wilayah tersebut.


Keterbatasan Sarana dan Prasarana Pendidikan

Kesenjangan digital juga semakin memperlebar jurang ini. Indonesia memang mencatat peningkatan signifikan dalam penetrasi internet, namun kesenjangan akses antarwilayah tetap ekstrem. Laporan We Are Social 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 30 juta penduduk Indonesia masih belum terhubung internet, mayoritas berada di kawasan timur.

Sementara itu, negara-negara maju seperti Jepang sudah mencapai pemerataan akses internet lebih dari 95% rumah tangga, dan Korea Selatan memiliki cakupan internet cepat hingga desa terpencil melalui proyek “Gigabit Korea”. Perbandingan ini memperlihatkan bahwa pemerataan infrastruktur digital dapat dicapai ketika negara memiliki prioritas politik yang jelas dan pendanaan berkelanjutan.

Ketika guru dan siswa di Seoul dapat memanfaatkan AI untuk pembelajaran adaptif, sebagian besar siswa di 3T bahkan tidak memiliki perangkat dasar seperti laptop atau tablet untuk sekadar mengakses materi digital.


Model Pendidikan yang Sensitif Terhadap Lokalitas

Beberapa negara maju memberikan contoh bagaimana pendidikan di wilayah terpencil dapat ditangani melalui kebijakan yang sensitif konteks. Finlandia, misalnya, menerapkan sistem small-school preservation untuk memastikan bahwa anak-anak di kawasan pedesaan tetap memiliki sekolah dekat tempat tinggal mereka, meskipun jumlah muridnya sedikit. Pemerintah memberikan subsidi tambahan dan mengirim guru keliling untuk menghindari ketimpangan layanan pendidikan.

Di Kanada terutama di wilayah Nunavut dan Yukon yang memiliki kondisi geografis ekstrem pemerintah melibatkan komunitas adat untuk merancang kurikulum berbasis budaya lokal. Praktik ini menunjukkan bahwa pendidikan berkualitas tidak hanya bergantung pada standar nasional, tetapi juga pada kemampuan menyesuaikan model pembelajaran dengan karakteristik lokal.

Pembelajaran berbasis lokalitas seperti ini sebenarnya telah dirancang oleh Kemendikbud untuk daerah 3T, tetapi implementasinya belum merata dan masih menghadapi kendala teknis serta pendanaan.


Upaya Pemerintah

Kebijakan pemerintah Indonesia sebenarnya sudah bergerak ke arah yang lebih responsif. Program Dapodik diperbarui untuk meningkatkan akurasi data pendidikan, intervensi Panja Pendidikan 3T di DPR mendorong insentif guru dan penguatan digitalisasi, dan terdapat beasiswa afirmasi untuk siswa dari 3T.

Namun, masalah yang paling sering muncul adalah ketidaksinkronan data antara pusat dan daerah yang menyebabkan anggaran tidak tepat sasaran. Selain itu, perbaikan sarana yang dilakukan sering kali bersifat tambal sulam dan tidak menyelesaikan akar masalah, yaitu minimnya anggaran jangka panjang untuk pembangunan sekolah dan pemeliharaan infrastruktur di wilayah yang biaya logistiknya jauh lebih mahal dibanding kota besar.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X