Sejahterakan Guru Pesantren: Ikhlas Bukan Alasan Untuk Miskin

photo author
- Senin, 8 Desember 2025 | 08:00 WIB
Opini Pendidikan (PebrianEr)
Opini Pendidikan (PebrianEr)

Dalam diskursus pendidikan Islam, guru pesantren hampir selalu dilekatkan dengan satu kata kunci: ikhlas. Mereka dipuji sebagai pendidik yang mengajar karena Allah, mengabdi tanpa syarat, dan berjuang tanpa pamrih. Narasi ini tidak salah, bahkan sangat mulia. Namun persoalannya, di banyak tempat, keikhlasan justru telah bergeser dari nilai spiritual menjadi alat justifikasi struktural untuk membiarkan guru pesantren hidup dalam keterbatasan yang tidak manusiawi.

Realitas di lapangan menunjukkan fakta yang getir. Tidak sedikit guru pesantren yang mengajar dari subuh hingga larut malam, mengampu banyak mata pelajaran, menjadi pembina asrama, pembimbing ibadah, sekaligus pengasuh karakter santri, namun menerima penghasilan yang bahkan jauh di bawah upah minimum. Mereka mengajar dengan beban kerja tinggi, tetapi tanpa jaminan kesejahteraan, tanpa perlindungan sosial, bahkan tanpa kepastian masa depan.

Ironisnya, di saat yang sama, sebagian lembaga pesantren justru berkembang menjadi institusi besar dengan bangunan megah, biaya pendidikan tinggi, dan citra religius yang kuat di mata publik. Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan kritis harus diajukan: ke mana arah keberpihakan lembaga-kepada ekspansi institusi atau kesejahteraan guru?

Dalam perspektif Islam, keikhlasan tidak pernah dimaksudkan untuk menghapus keadilan. Al-Qur’an justru menegaskan, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya” (HR. Ibnu Majah). Ini adalah prinsip etika kerja yang sangat tegas: pengabdian tidak boleh dibalas dengan pengabaian hak. Mengajar karena Allah tidak berarti hidup tanpa keadilan ekonomi. Jihad pendidikan bukan tiket menuju kemiskinan struktural.

Kajian sosiologi pendidikan menunjukkan bahwa kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kesejahteraan dan martabat guru. Guru yang hidup dalam tekanan ekonomi berkepanjangan akan kesulitan mengembangkan profesionalisme, meningkatkan kapasitas intelektual, dan menjaga stabilitas emosional dalam mendidik. Ini bukan sekadar teori, tetapi realitas yang dirasakan langsung di banyak pesantren: guru kelelahan, mencari penghasilan sampingan, bahkan ada yang akhirnya meninggalkan pesantren demi bertahan hidup.

Lebih dari itu, jika kondisi ini terus dibiarkan, pesantren sedang menanam bom waktu bagi keberlanjutan kaderisasi ulama dan pendidik. Generasi muda yang cerdas hari ini akan berpikir ulang untuk menjadi guru pesantren jika profesi ini identik dengan pengorbanan tanpa jaminan hidup layak. Akibatnya, pesantren berisiko kekurangan guru berkualitas di masa depan.

Di titik ini, kita harus jujur dan berani berkata: pesantren tidak boleh menjual nama ikhlas untuk menutupi ketimpangan sistem. Keikhlasan adalah urusan hati, sedangkan kesejahteraan adalah tanggung jawab manajerial dan struktural. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Bahkan justru pesantren yang sehat adalah pesantren yang mampu mengawinkan antara spiritualitas dan keadilan sosial.

Negara juga tidak bisa cuci tangan. Pengakuan terhadap pesantren melalui regulasi harus diiringi dengan kebijakan nyata yang melindungi guru pesantren: akses kesejahteraan, pelatihan profesional, jaminan kesehatan, dan pengakuan status kerja yang jelas. Memuliakan santri tanpa memuliakan gurunya adalah kebijakan yang pincang.

Saatnya kita mengubah paradigma. Guru pesantren bukan “relawan abadi” yang boleh dikorbankan terus-menerus atas nama pahala. Mereka adalah pendidik peradaban, penjaga akhlak bangsa, dan pilar utama pendidikan Islam. Mereka berhak hidup sejahtera, bermartabat, dan terlindungi.

Jika pesantren sungguh ingin menjaga kemurnian misinya sebagai pusat lahirnya generasi shaleh dan berilmu, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memuliakan guru, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan sistem kesejahteraan yang adil. Sebab pesantren boleh sederhana, tetapi keadilan bagi guru tidak boleh ditunda.

Ikhlas adalah nilai suci. Tetapi menjadikan ikhlas sebagai alasan untuk melanggengkan ketimpangan adalah bentuk ketidakadilan yang dibungkus agama. Dan itu adalah pengkhianatan terhadap ruh pendidikan Islam itu sendiri.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Pebrian Erdiana Himawann

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X