PROJABAR.COM - Perintah administratif boleh terdengar membosankan: daftar, isi formulir, patuhi aturan. Tapi ketika pemerintah mengumumkan surat teguran untuk 25 PSE termasuk nama-nama besar yang selama ini melayani jutaan pengguna kita harus bertanya apakah ini soal kepatuhan, atau soal membangun tombol matikan atas ruang publik digital
Saya tidak menuduh; saya mengamati pola. Ada beberapa hal yang membuat langkah Komdigi ini tampak lebih menyeramkan daripada sekadar birokrasi timing yang mendadak, definisi yang longgar, ancaman sanksi yang bisa langsung memutus akses.
Ada beberapa titik krusial yang layak diwaspadai dan jujur saja, sebagian tampak mencurigakan.
1. Informasi yang Opaque: Transparansi Setengah Hati
Banyak rilis dan pernyataan resmi Komdigi terlihat seperti “pemanis struktural” rapi, formal, tetapi miskin substansi. Alih-alih memberikan gambaran detail tentang kebijakan, dampak, atau urgensi program, publik hanya disajikan kalimat-kalimat normatif.
Ketika sebuah lembaga digital nasional tidak berbicara secara konkret, publik wajar bertanya:
Apakah ini komunikasi publik, atau sekadar pembingkaian?
2. Kontrol Narasi Publik yang Terlalu Rapih
Dalam banyak publikasi, narasi Komdigi terasa seragam: netral, aman, dan tidak pernah menyentuh potensi risiko kebijakannya sendiri. Pola seperti ini lazim ditemukan pada lembaga yang lebih fokus menjaga citra ketimbang memberikan edukasi faktual.
Publik tentu tidak mengharapkan propaganda positif, tetapi kejujuran regulatif apa yang berfungsi, apa yang belum, dan apa yang perlu diperbaiki.
Ketika tidak ada ruang untuk kritik internal, publik justru semakin skeptis.
3. Potensi Penguatan Kekuasaan Melalui Infrastruktur Digital
Ada kecenderungan lembaga digital negara “terlalu bernafsu” mengatur ruang internet. Mulai dari sertifikasi platform, kewajiban pendaftaran, hingga wacana sensor yang dibungkus alasan keamanan nasional. Komdigi seperti sedang membangun mekanisme yang dapat memperluas jangkauan kekuasaan pemerintah atas ruang digital masyarakat.
Pertanyaan kuncinya:
Apakah regulasi ini untuk melindungi rakyat, atau untuk mengontrolnya?
Ambiguitas ini berbahaya.
Baca Juga: Ruang Gerak Persempit: Ancaman KUHAP Baru bagi Masa Depan Jurnalisme Investigasi di Indonesia
4. Tidak Ada Model Akuntabilitas yang Jelas
Setiap lembaga pengelola data dan ruang digital harus memiliki mekanisme pengawasan independen. Sayangnya, struktur Komdigi baik dalam komunikasi maupun dalam kerangka tugas tidak menunjukkan arah pengawasan yang transparan.
Ketiadaan audit terbuka membuat masyarakat kesulitan menilai:
Artikel Terkait
Gaya Blak-blakan Menteri Purbaya: Kebijakan Kontroversial di Tengah Ujian Kabinet Prabowo
Di Balik Gaya Menteri Purbaya: Strategi Politik Prabowo dalam Mengelola Kabinet dan Opini Publik
Menteri Keuangan Baru di Tengah Kabinet "Gemuk": Antara Gaya Blak-blakan dan Warisan Berat
Imajinasi Musisi Dibunuh Industri: Jangan Lagu Cinta Melulu
Insinyur sebagai Menteri Keuangan: Membawa Pendekatan Sistem untuk Memecahkan Masalah Ekonomi
KUHAP Baru Dikritik Tajam: Pasal Bermasalah Ancam Kebebasan Warga dan Keadilan
Kronologi Pasal 16 RKUHAP: Dari Reformasi Hukum ke Celah Penjebakan
Ruang Gerak Persempit: Ancaman KUHAP Baru bagi Masa Depan Jurnalisme Investigasi di Indonesia
[Update] Produktivitas Tanpa Legitimasi: Kinerja DPR 2024-2029 di Bayangi Krisis Kepercayaan Publik
[UPDATE] Kinerja DPR 2024-2029: Antara Harapan Checks and Balances dan Bayang-bayang Krisis Kepercayaan Publik