PROJABAR.COM -Pendidikan Indonesia seolah terus bergerak, tetapi pada kenyataannya sering berjalan di tempat. Kita memiliki kurikulum yang silih berganti, program yang terus diperbaiki, serta jargon perubahan yang tampak megah. Namun di balik itu semua, ada krisis mendasar yang jarang diakui dan hampir tidak pernah diselesaikan: bahwa pendidikan kita terlalu sibuk mengurusi sistem, tetapi lupa memanusiakan manusia.
1. Birokrasi Mengikat, Guru Kian Kehilangan Ruang
Guru yang seharusnya menjadi jantung pendidikan—kian tersisih oleh tumpukan administrasi dan proyek kebijakan. Mereka didorong untuk memenuhi laporan, survei, lembar evaluasi, dan instrumen teknis yang tidak selalu relevan dengan kebutuhan belajar siswa.
Akibatnya, waktu yang semestinya digunakan untuk membimbing, berdialog, dan merancang pembelajaran bermutu justru habis untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang terlalu birokratis. Pendidikan menjadi formalitas, bukan proses pembinaan karakter dan ilmu.
2. Siswa Menjadi Objek Eksperimen Kurikulum
Setiap pergantian pemimpin, kurikulum ikut berubah. Yang paling menjadi korban? Para siswa. Mereka berpindah dari satu model ke model lain tanpa diberi jeda untuk beradaptasi. Mereka dinilai dengan standar yang sering tidak sesuai dengan perkembangan psikologis dan realitas sosialnya.
Siswa akhirnya menjadi objek eksperimen yang dipaksa mengikuti ritme kebijakan, bukan menerima pendidikan yang benar-benar berpihak pada masa depan mereka.
3. Ketimpangan Masih Lebar: Kota Melaju, Desa Berjuang
Realitas pendidikan di kota yang penuh fasilitas, dengan sekolah modern dan guru tersertifikasi, begitu kontras dengan kondisi sekolah di daerah pinggiran. Ada sekolah yang kekurangan guru, kekurangan buku, bahkan kekurangan ruang kelas yang layak.
Bagaimana kita bisa bicara tentang “merdeka belajar” jika anak di sebagian wilayah bahkan tidak bisa “merdeka bermimpi” karena tidak punya akses dasar pendidikan yang memadai?
4. Pendidikan Terlalu Akademis, Minim Karakter dan Moral Publik
Indonesia menghadapi masalah sosial yang kian kompleks: intoleransi, kekerasan, korupsi, dan lemahnya empati sosial. Ironisnya, pendidikan kita masih terlalu fokus pada hafalan, angka rapor, dan kompetisi nilai.
Kita lupa bahwa kecerdasan tanpa akhlak adalah jalan paling cepat menuju kerusakan generasi. Sekolah harus menjadi tempat tumbuhnya mental jujur, adil, bertanggung jawab, dan menghargai sesama bukan sekadar tempat mengejar peringkat.
5. Politik Anggaran Mengkerdilkan Esensi Pendidikan
Artikel Terkait
MenESDM Bahili Akui Dosa Lingkungan Masa Lalu, Sampaikan Belasungkawa atas Bencana Sumatera
BI dan Pemprov Jabar Perkuat Kolaborasi, Bidik Pertumbuhan Ekonomi 5,5% di 2025
Kredit Jawa Barat Tumbuh Melambat, Tiga Sektor Usaha Alami Penurunan
KAI Services Kembali Membuka Lowongan Kerja Bagi Pramugara-Pramugari, Berikut Jadwal Interviewnya
Kualitas Udara Jawa Barat Terburuk se-Indonesia, Capai Level Tidak Sehat (29/11/2025)
Indonesia Kuasai 40-50% Cadangan Panas Bumi Global, Jawa Barat Jadi Pusat Pengembangan
Dugaan Penyimpangan Bansos di Desa Cisomang Barat dan Tenjo Laut: Warga Protes, Surat Pernyataan Misterius Muncul
Ketika “Berbagi” Menjadi Beban-Meninjau Praktik Pemotongan Dana Bantuan dari Perspektif Islam dan Hukum
Kontroversi Pemotongan BLT: Ketika Ideologi Pancasila ‘Keadilan Sosial’ Dipakai Sebagai Dalih
Ketika Sekolah Tak Lagi Merdeka: Pendidikan Indonesia yang Tersandera Sistem