Setiap tahun, anggaran pendidikan Indonesia terus meningkat. Program berganti, kurikulum diperbarui, dan jargon reformasi digaungkan di berbagai forum. Namun pertanyaan paling jujur yang jarang diajukan secara terbuka adalah: siapa yang sebenarnya paling diuntungkan dari sistem pendidikan kita hari ini? Apakah siswa sebagai subjek utama pendidikan, atau justru birokrasi dan kepentingan struktural di sekitarnya?
Pertanyaan ini menjadi penting sebab di lapangan, pendidikan sering terasa lebih sibuk melayani sistem ketimbang memerdekakan manusia.
Dalam perspektif (Paulo Freire), pendidikan semestinya bersifat “pembebasan” (pedagogy of the oppressed), bukan “pendidikan gaya bank” yang menjadikan siswa hanya sebagai objek yang diisi, dinilai, dan dikendalikan. Namun yang terjadi di banyak sekolah justru sebaliknya: siswa dijejali target, dikejar angka, dan dinilai melalui standar seragam yang sering mengabaikan realitas sosial, psikologis, dan kultural mereka. Dalam sistem seperti ini, yang diuntungkan bukanlah pertumbuhan manusia, melainkan kelancaran administrasi.
Di sisi lain, teori fungsionalisme pendidikan dari (Emile Durkheim) menyatakan bahwa sekolah memang bertugas menanamkan nilai-nilai sosial agar masyarakat tetap stabil. Tetapi ketika stabilitas lebih diutamakan daripada keadilan, maka pendidikan bisa berubah menjadi alat reproduksi ketimpangan. Pierre Bourdieu bahkan lebih tegas menyebut bahwa sekolah sering menjadi alat reproduksi kelas sosial melalui apa yang ia sebut sebagai “modal budaya”. Anak-anak dari keluarga mampu lebih mudah menyesuaikan diri dengan sistem sekolah, sementara anak-anak dari kelas bawah harus berjuang jauh lebih keras hanya untuk bertahan.
Inilah yang menjelaskan mengapa kesenjangan pendidikan di Indonesia tetap terasa tajam. Sekolah unggulan tumbuh subur di wilayah perkotaan dengan fasilitas lengkap, sementara sekolah di daerah terpencil masih berjibaku dengan keterbatasan guru, sarana, bahkan ruang kelas. Sistem yang katanya seragam secara nasional, dalam praktiknya justru melahirkan ketidakadilan yang struktural.
Baca Juga: PENDIDIKAN INDONESIA: Krisis yang Tak Diakui, Masalah yang Tak Diselesaikan
Guru pun tak luput dari tekanan sistem. Dalam teori manajemen pendidikan modern, guru seharusnya menjadi agen pembelajaran yang kreatif dan reflektif. Namun dalam praktiknya, banyak guru justru terjebak dalam kubangan administrasi yang menumpuk: laporan, instrumen, survei, akreditasi, dan berbagai aplikasi pelaporan. Alih-alih fokus pada proses mendidik, guru dipaksa menjadi operator sistem. Dalam kondisi ini, siapa yang diuntungkan? Bukan siswa, bukan pula guru, melainkan mesin birokrasi yang berputar rapi di atas kertas.
Jika ditilik dari teori tujuan pendidikan nasional menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan sejatinya adalah usaha memanusiakan manusia—menumbuhkan budi pekerti, pikiran, dan jasmani secara seimbang. Namun ketika pendidikan terlalu diukur dengan angka, peringkat, dan capaian akademik semata, maka esensi tersebut perlahan terkikis. Yang tumbuh bukan manusia merdeka, melainkan generasi yang cemas, takut salah, dan tertekan target.
Lebih ironis lagi, dalam pendekatan ekonomi pendidikan, pendidikan sering dipersempit menjadi sekadar investasi sumber daya manusia demi pasar kerja. Sekolah diarahkan untuk mencetak tenaga siap pakai, bukan manusia kritis dan berkarakter. Maka wajar jika yang paling diuntungkan justru industri, bukan peserta didik sebagai manusia yang utuh.
Pada titik ini, kita harus jujur mengakui bahwa sistem pendidikan kita masih lebih berpihak pada kepentingan struktural ketimbang kepentingan kemanusiaan. Sistem diuntungkan melalui keteraturan administrasi. Elite kebijakan diuntungkan melalui pencitraan reformasi. Sebagian kelompok ekonomi diuntungkan melalui akses pendidikan bermutu. Sementara itu, tidak sedikit siswa dan guru justru menjadi korban dari sistem yang tidak mereka rancang.
Pendidikan yang adil seharusnya berpihak pada yang paling lemah. Sebagaimana ditegaskan Freire, pendidikan sejati adalah keberpihakan pada pembebasan, bukan penjinakan. Selama sistem masih menempatkan siswa sebagai objek kebijakan, guru sebagai alat teknokrasi, dan sekolah sebagai unit administratif semata, maka pertanyaan “siapa yang diuntungkan” akan terus mengarah pada jawaban yang sama: bukan mereka yang seharusnya menjadi pusat pendidikan.
Sudah saatnya sistem tidak lagi menjadi tujuan, tetapi benar-benar menjadi alat. Alat untuk memerdekakan anak bangsa, bukan sekadar menertibkan data dan laporan. Jika tidak, pendidikan akan terus tampak maju di statistik, tetapi tertinggal dalam kemanusiaan.
Artikel Terkait
Analis Bareksa Soroti DEWA, AADI, dan BBRI, Proyeksi IHSG Lanjut Menguat
Identitas 12 Perusahaan Penyelidikan Banjir Sumut Dirahasiakan, Proses Hukum Jadi Alasan
IHSG Tembus Rekor Penutupan Tertinggi Baru di Level 8.640, Dikawal Beli Asing dan Sektor Industri
Pemerintah Akui Masalah Subsidi BBM: Orang Kaya Masih Terima Bantuan, Strategi Bakal Dirombak
Analis Bareksa Rekomendasikan ARTO, INKP, dan UNVR di Tengah Proyeksi IHSG Hijau
Menhut Kantongi Data Awal Asal Kayu Gelondongan, Polisi Turun ke Batang Toru
Telaah Mengapa Manusia Takut Ambiguitas (Psikologi & Fenomenologi dalam bahasa yang hidup)
Telaah Ambiguitas dalam Logika Non-Biner dan Filsafat Timur
Kepastian sebagai Ilusi dan Problem Epistemik (Sebuah Telaah Konseptual)
Telaah Konseptual: Ketidakpastian sebagai Sumber Etika