Mitos dan Fakta Kepemimpinan: Membongkar Narasi "Kebecusan" Ekonomi Soeharto versus Soekarno dan Gus Dur

photo author
- Senin, 24 November 2025 | 10:05 WIB
Foto dari kiri Presiden ke- 1 Sukarno, Presiden ke-2  Soeharto, Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Wikipedia, mcbsa)
Foto dari kiri Presiden ke- 1 Sukarno, Presiden ke-2 Soeharto, Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Wikipedia, mcbsa)

PROJABAR.COM - Narasi populer sering memosisikan Soeharto sebagai "insinyur ekonomi" yang sukses, sementara Soekarno dan Gus Dur digambarkan sebagai pemimpi yang naif. Namun, pembacaan kritis terhadap sejarah ekonomi-politik Indonesia mengungkap cerita yang lebih kompleks dan gelap di balik mitos-mitos ini.

Baca Juga: Sistem Hukum Negara Mana yang Ideal untuk Indonesia?

Soekarno: Kegagalan Ekonomi sebagai Pilihan Politik Revolusioner

Soekarno bukanlah pemimpin yang "tidak becus" ekonomi. Sebaliknya, ia secara sadar memilih prioritas politik di atas stabilitas ekonomi. Dalam pandangannya, kemerdekaan politik dan revolusi mental harus didahulukan sebelum pembangunan ekonomi.

Fakta sejarah menunjukkan:

  • Inflasi 635% pada 1966 bukan sekadar hasil salah urus, tetapi konsekuensi dari konfrontasi dengan imperialisme Barat dan pembiayaan proyek-proyek geopolitik seperti Ganefo dan Games of the New Emerging Forces.

  • Dekon (Deklarasi Ekonomi) 1963 merupakan kritik terhadap ekonomi neoliberal dan upaya membangun sistem ekonomi Indonesia yang independen.

  • Nasionalisasi perusahaan asing adalah strategi untuk merebut kedaulatan ekonomi, meski berdampak pada terisolirnya Indonesia dari pasar global.

Soekarno digulingkan bukan semata karena ekonominya "berantakan", tetapi karena visi politiknya yang anti-imperialisisme mengancam kepentingan Barat dan militer domestik. Dokumen CIA yang telah dideklasifikasi membuktikan keterlibatan AS dalam mendukung Soeharto untuk menjamin akses terhadap sumber daya alam Indonesia.

Soeharto: Mesin Pertumbuhan Ekonomi yang Dibangun di Atas Penderitaan Rakyat

Rezim Soeharto memang menciptakan pertumbuhan ekonomi yang impresif, namun dengan mengorbankan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan keadilan.

Keberhasilan yang Dipertanyakan:

  • Pertumbuhan ekonomi 7% per tahun hanya mungkin dicapai melalui represi upah buruh, eksploitasi sumber daya alam secara masif, dan penindasan terhadap kritik.

  • Penurunan angka kemiskinan menggunakan standar yang direkayasa - garis kemiskinan ditetapkan sangat rendah sehingga tidak mencerminkan kesejahteraan sebenarnya.

  • Swasembada pangan dicapai dengan mengorbankan petani melalui kebijakan yang memaksa mereka menggunakan input pertanian tertentu.

 

Baca Juga: Mengapa Partai Paham Kiri Sulit Muncul Kembali di Indonesia

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X