PROJABAR.COM - Kritik, seringkali diidentikkan dengan keluhan atau perlawanan, sejatinya adalah denyut nadi kehidupan bermasyarakat yang demokratis. Dalam konteks negara hukum dan demokrasi seperti Indonesia, praktik mengkritik justru berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang vital dan hak konstitusional warga negara.
Persepsi yang menganggapnya sebagai ancaman ketertiban atau penghambat pembangunan perlu dikaji ulang dengan melihat esensi, cara penyampaian, dan respons terhadapnya.
Baca Juga: Perdebatan Qur’an-Only vs Tradisi Hadis di Indonesia: Makna Shalat, Otoritas Ulama, dan Risiko Polarisasi
Apa sebenarnya fungsi sosial dari kritik? Secara sosiologis, kritik merupakan umpan balik (feedback) yang memungkinkan suatu sistem, kebijakan, atau kinerja dievaluasi. Fungsi utamanya adalah korektif dan preventif.
Ia bertindak sebagai “alarm sosial” yang mengingatkan adanya penyimpangan atau ketidaksesuaian antara harapan publik dengan realita yang terjadi. Dalam demokrasi, ruang untuk menyampaikan pendapat termasuk kritik dilindungi oleh konstitusi.
Siapa pihak-pihak yang terlibat dalam dinamika kritik? Pelaku utamanya adalah masyarakat sipil, mulai dari individu, kelompok, lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, hingga pers. Di sisi lain, pihak yang dikritik biasanya adalah pemegang otoritas.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menegaskan bahwa hak untuk menyampaikan pendapat, termasuk kritik, adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. “Negara wajib melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak atas kebebasan berekspresi,” ujarnya.
Di mana ruang kritik dapat disalurkan secara sehat? Ruangnya kini sangat beragam, dari forum formal seperti rapat dengar pendapat di DPR, pengaduan ke lembaga pengawasan, hingga ruang publik seperti media massa dan platform digital.
Kunci kesehatan ruang ini terletak pada kepatuhan terhadap rambu-rambu hukum seperti UU ITE dan etika komunikasi, serta kesediaan semua pihak berdialog secara substantif.
Kapan kritik berubah dari fungsi menjadi ancaman? Kritik dipersepsikan sebagai ancaman ketika disampaikan dengan cara yang melanggar hukum, mengandung ujaran kebencian, hoaks, atau hasutan kekerasan.
Selain itu, resistensi dari pihak yang dikritik yang menganggap semua kritik sebagai bentuk makar atau upaya menggulingkan kekuasaan juga memicu eskalasi. Stigmatisasi terhadap kritik sering kali lebih disebabkan oleh faktor politis.
Mengapa mempertahankan fungsi sosial kritik itu penting? Tanpa mekanisme kritik yang efektif, kesalahan kebijakan atau penyalahgunaan wewenang berpotensi terus berlarut tanpa koreksi. Akibatnya, akuntabilitas publik melemah dan kepercayaan sosial menurun.
Data dari Komisi Informasi Pusat menunjukkan tingginya minat publik terhadap informasi publik, dengan total permohonan informasi pada tahun 2023 mencapai 2.764 permohonan secara nasional.
Bagaimana menumbuhkan budaya kritik yang konstruktif? Pertama, diperlukan pemahaman bersama bahwa kritik adalah bagian dari proses pemerintahan yang sehat. Kedua, kritik harus disampaikan dengan data yang akurat, disertai solusi alternatif.
Ketiga, pihak yang dikritik perlu membangun kedewasaan dengan memisahkan antara serangan pribadi dan kritik terhadap kebijakan, serta merespons dengan transparansi dan bukti. Mekanisme dialog terbuka dan partisipatif adalah jalan terbaik.
Baca Juga: Kontroversi Pemotongan BLT: Ketika Ideologi Pancasila ‘Keadilan Sosial’ Dipakai Sebagai Dalih
Artikel Terkait
Analisis Kebijakan Penertiban Ruang Digital: Antara Keamanan Nasional dan Kebebasan Sipil
Malu Jadi Orang Indonesia? Sebuah Refleksi Kritis di Tengah Warisan Kebangsaan
Indonesia di Persimpangan Transisi Energi: Retorika Ambisius vs Realita Kebijakan
Kapan Indonesia Bisa Maju? Melacak Jejak Pencerahan dan Mencetak Masa Depan
Mitos dan Fakta Kepemimpinan: Membongkar Narasi "Kebecusan" Ekonomi Soeharto versus Soekarno dan Gus Dur
Siswa Indonesia Menuntut Pengakuan: Kapan Hari Nasional Kita?
Dokumen Kedutaan AS Ungkap Peran Diplomatik 1964-1968 dalam Pembantaian PKI: Apa Fakta, Kenapa Tidak Viral?
Ketika “Berbagi” Menjadi Beban-Meninjau Praktik Pemotongan Dana Bantuan dari Perspektif Islam dan Hukum
Kontroversi Pemotongan BLT: Ketika Ideologi Pancasila ‘Keadilan Sosial’ Dipakai Sebagai Dalih
Perdebatan Qur’an-Only vs Tradisi Hadis di Indonesia: Makna Shalat, Otoritas Ulama, dan Risiko Polarisasi