PROJABAR.COM - Islam Indonesia sering dipuji sebagai moderat, ramah, dan toleran. Namun di balik citra itu, ada krisis yang jarang dibicarakan secara jujur ruang-ruang keislaman semakin sepi dari kaum intelektual muda yang sungguh-sungguh berpikir. Bukan karena mereka tidak peduli pada agama, tetapi karena agama dalam praktik sosialnya sering tidak peduli pada cara mereka berpikir.
Ini bukan fenomena kecil. Ia sistemik, dan terlihat jelas di pengajian, kampus, hingga pesantren.
Pengajian: Dari Majelis Ilmu ke Panggung Kepastian
Di banyak pengajian umum, pola yang berulang adalah ini satu arah, satu suara, satu kesimpulan. Jamaah mendengar, mencatat, lalu pulang dengan rasa aman karena telah “mendapat jawaban”. Namun rasa aman ini dibayar mahal hilangnya ruang bernalar.
Coba ajukan pertanyaan seperti:
-
“Apakah tafsir ini bersifat historis atau universal?”, “Bagaimana ulama berbeda pendapat soal ayat ini?”, “Apa metode yang dipakai sampai kesimpulan ini diambil?”
Pertanyaan semacam ini sering tidak dijawab, melainkan direspons secara moral:
“Jangan kebanyakan mikir.”, “Ilmu seperti ini bisa menyesatkan.”, “Yang penting yakin.”
Di titik ini, pengajian tidak lagi menjadi ruang pencarian ilmu, melainkan ruang produksi kepastian massal. Intelektual muda yang terbiasa berpikir kritis akan memilih diam, lalu pergi.
Kampus Islam: Antara Ilmu dan Ketakutan
Di kampus-kampus Islam baik negeri maupun swasta fenomena ini lebih subtil tapi tidak kalah serius. Di kelas, mahasiswa diajarkan teori, metodologi, bahkan filsafat ilmu. Namun ketika teori itu menyentuh wilayah teologi, rem mendadak ditarik.
Dosen berhati-hati bukan karena tidak tahu, tetapi karena takut salah ucap. Mahasiswa berhitung bukan pada argumen, melainkan risiko.
Topik-topik seperti:
-
kritik sanad dan matan, sejarah kodifikasi hadis, perbedaan tafsir klasik dan kontemporer, relasi Islam dan negara,
sering dibahas setengah hati, atau hanya sebatas “ini ada, tapi jangan dikembangkan”.
Kampus yang seharusnya menjadi ruang kebebasan akademik berubah menjadi laboratorium sensor diri. Intelektual muda belajar satu pelajaran pahit: berpikir kritis aman di jurnal, berbahaya di mimbar.
Pesantren: Tradisi Ilmu yang Mulai Membeku
Pesantren memiliki sejarah intelektual panjang. Kitab kuning, khilafiyah, dan tradisi bahth al-masa’il adalah bukti bahwa Islam Nusantara pernah sangat akrab dengan perbedaan dan debat.
Artikel Terkait
Ketika “Berbagi” Menjadi Beban-Meninjau Praktik Pemotongan Dana Bantuan dari Perspektif Islam dan Hukum
Kontroversi Pemotongan BLT: Ketika Ideologi Pancasila ‘Keadilan Sosial’ Dipakai Sebagai Dalih
Perdebatan Qur’an-Only vs Tradisi Hadis di Indonesia: Makna Shalat, Otoritas Ulama, dan Risiko Polarisasi
Kritik yang Membangun: Memahami Fungsi Sosialnya sebagai Pilar Demokrasi, Bukan Ancaman
Sejahterakan Guru Pesantren: Ikhlas Bukan Alasan Untuk Miskin
Kesenjangan Pendidikan di Daerah Tertinggal, Terluar dan Terdepan (3T): Analisis Legislasi dan kebijakan
4 Hal Tentang tabu dalam konteks agama, Secara Sederhana dan Ringkas.
Budaya kekuasaan di Indonesia, tantangan dan peluang perubahannya.
Kurikulum Deep Learning: Inovasi Pendidikan Abad 21 atau Eksperimen Berisiko di Indonesia?
Dua Bencana, Dua Kecepatan Hukum: Mengapa Kasus Terra Drone Cepat dan Al Khoziny Masih Misteri?