PROJABAR.COM – Kebijakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengenai penertiban ruang digital dan media sosial memantik analisis mendalam dari berbagai pakar. Kebijakan yang diumumkan pada Jumat (20/11/2025) ini menempatkan Indonesia dalam dilema klasik antara keamanan nasional dan kebebasan sipil di era digital.
Kebijakan ini bersandar pada UU ITE dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.Data 110 anak yang teridentifikasi merencanakan aksi teror sepanjang 2025 menjadi justifikasi utama. Pakar keamanan siber dari Universitas Indonesia, Dr. Ahmad Saufi, menjelaskan bahwa ancaman digital memang nyata.
Baca Juga: MenHAM Natalius Pigai Pastikan Pembela HAM Dapat Kekebalan Hukum dalam Revisi UU HAM
"Data Polri konsisten dengan temuan kami bahwa radikalisme semakin masif menyasar generasi muda melalui platform digital. Namun, pendekatan penertiban perlu dipertimbangkan matang-matang," ujar Saufi.
Aliansi Jurnalis Independen menyatakan keprihatinan mendalam atas kebijakan ini.Ketua AJI, Sasmito Madrim, mengingatkan bahwa UU ITE selama ini kerap digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.
"Kami mencatat 156 kasus kriminalisasi jurnalis dan aktivis menggunakan UU ITE dalam 3 tahun terakhir. Kebijakan penertiban berpotensi memperburuk situasi ini," tegas Sasmito.
Baca Juga: Wardatina Laporkan Inara Rusli ke Polda Metro Jaya Dugaan Selingkuh dengan Suami
Pengamat komunikasi politik,Dr. Rini Sudarmanti, menganalisis bahwa kebijakan ini dapat mengikis ruang publik digital yang vital bagi demokrasi. "Ruang digital telah menjadi arena deliberasi publik yang penting. Penertiban berlebihan berisiko mematikan diskursus sehat," paparnya.
Data Lembaga Survei Indonesia menunjukkan 67% masyarakat merasa khawatir kebijakan ini akan disalahgunakan untuk membungkam kritik. Hanya 28% yang mendukung penuh, sementara 5% tidak memberikan pendapat.
Dalam konteks global,Indonesia mengikuti tren serupa dengan negara seperti Singapura dan Malaysia yang menerapkan pengawasan ketat ruang digital. Namun, pakar hukum internasional Prof. Hadi Kusuma membandingkan dengan model Eropa yang lebih melindungi privasi.
Baca Juga: Puluhan Anak Pengungsi Semeru Kembali Ceria Berkat Trauma Healing dari Polres Lumajang
"Uni Eropa dengan General Data Protection Regulation-nya menempatkan perlindungan data pribadi sebagai hak fundamental. Indonesia perlu belajar dari pendekatan yang balanced ini," jelas Hadi.
Para ahli merekomendasikan tiga langkah strategis:Pertama, pembentukan lembaga pengawas independen yang melibatkan unsur masyarakat sipil. Kedua, penyusunan pedoman jelas tentang batasan penertiban. Ketiga, penguatan literasi digital sebagai pendekatan preventif.
Kebijakan ini akan diuji dalam praktik selama 6-12 bulan ke depan.Monitoring ketut diperlukan untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan platform teknologi menjadi kunci keberhasilan.
Artikel Terkait
Rp 300 M yang Dipamerkan KPK Ternyata Pinjaman Bank: Dipinjam Pagi, Dikembalikan Sore
Ketegangan China-Jepang Memanas: Taiwan di Pusat Diplomasi dan Retaliasi
Fakta di Balik Ledakan SMAN 72: Aktivitas Ekskul KIR Jadi Dalih, Grup True Crime dan Dark Web Jadi Inspirasi
Korban Eksibisionisme di Benhill Dapat Perlindungan Tak Terduga dari Petugas Damkar
Indonesia Peringkat Pertama Negara yang Nilai Kesejahteraan Bukan Hanya dari Uang
Kilang Terbesar RI Siap Beroperasi Penuh, Pemerintah Targetkan Swasembada Solar dan Avtur 2026
Satpol PP Cianjur Gelar Sidang Tipiring bagi PKL Bandel di Kawasan Bomero Citywalk
Minyak Jelantah Program Makan Bergizi Gratis Diekspor ke Singapore Airlines dengan Harga Dua Kali Lipat
Jokowi Paparkan Capaian Satu Dekade Kepemimpinan di Bloomberg New Economy Forum Singapura
Puluhan Anak Pengungsi Semeru Kembali Ceria Berkat Trauma Healing dari Polres Lumajang