Analisis Kebijakan Penertiban Ruang Digital: Antara Keamanan Nasional dan Kebebasan Sipil

photo author
- Minggu, 23 November 2025 | 18:00 WIB
Analisis Kebijakan Penertiban Ruang Digital: Antara Keamanan Nasional dan Kebebasan Sipil (Dok Polri)
Analisis Kebijakan Penertiban Ruang Digital: Antara Keamanan Nasional dan Kebebasan Sipil (Dok Polri)

PROJABAR.COMKebijakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengenai penertiban ruang digital dan media sosial memantik analisis mendalam dari berbagai pakar. Kebijakan yang diumumkan pada Jumat (20/11/2025) ini menempatkan Indonesia dalam dilema klasik antara keamanan nasional dan kebebasan sipil di era digital.

Kebijakan ini bersandar pada UU ITE dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.Data 110 anak yang teridentifikasi merencanakan aksi teror sepanjang 2025 menjadi justifikasi utama. Pakar keamanan siber dari Universitas Indonesia, Dr. Ahmad Saufi, menjelaskan bahwa ancaman digital memang nyata.

Baca Juga: MenHAM Natalius Pigai Pastikan Pembela HAM Dapat Kekebalan Hukum dalam Revisi UU HAM

"Data Polri konsisten dengan temuan kami bahwa radikalisme semakin masif menyasar generasi muda melalui platform digital. Namun, pendekatan penertiban perlu dipertimbangkan matang-matang," ujar Saufi.

Aliansi Jurnalis Independen menyatakan keprihatinan mendalam atas kebijakan ini.Ketua AJI, Sasmito Madrim, mengingatkan bahwa UU ITE selama ini kerap digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.

"Kami mencatat 156 kasus kriminalisasi jurnalis dan aktivis menggunakan UU ITE dalam 3 tahun terakhir. Kebijakan penertiban berpotensi memperburuk situasi ini," tegas Sasmito.

Baca Juga: Wardatina Laporkan Inara Rusli ke Polda Metro Jaya Dugaan Selingkuh dengan Suami

Pengamat komunikasi politik,Dr. Rini Sudarmanti, menganalisis bahwa kebijakan ini dapat mengikis ruang publik digital yang vital bagi demokrasi. "Ruang digital telah menjadi arena deliberasi publik yang penting. Penertiban berlebihan berisiko mematikan diskursus sehat," paparnya.

Data Lembaga Survei Indonesia menunjukkan 67% masyarakat merasa khawatir kebijakan ini akan disalahgunakan untuk membungkam kritik. Hanya 28% yang mendukung penuh, sementara 5% tidak memberikan pendapat.

Dalam konteks global,Indonesia mengikuti tren serupa dengan negara seperti Singapura dan Malaysia yang menerapkan pengawasan ketat ruang digital. Namun, pakar hukum internasional Prof. Hadi Kusuma membandingkan dengan model Eropa yang lebih melindungi privasi.

Baca Juga: Puluhan Anak Pengungsi Semeru Kembali Ceria Berkat Trauma Healing dari Polres Lumajang

"Uni Eropa dengan General Data Protection Regulation-nya menempatkan perlindungan data pribadi sebagai hak fundamental. Indonesia perlu belajar dari pendekatan yang balanced ini," jelas Hadi.

Para ahli merekomendasikan tiga langkah strategis:Pertama, pembentukan lembaga pengawas independen yang melibatkan unsur masyarakat sipil. Kedua, penyusunan pedoman jelas tentang batasan penertiban. Ketiga, penguatan literasi digital sebagai pendekatan preventif.

Kebijakan ini akan diuji dalam praktik selama 6-12 bulan ke depan.Monitoring ketut diperlukan untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan platform teknologi menjadi kunci keberhasilan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Al Dira Achmad Arrazib

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X