PROJABAR.COM - Bank Jepang (BoJ) secara resmi mengakhiri era kebijakan moneter ultra-longgar yang telah berlangsung puluhan tahun. Pada Jumat, 19 Desember 2025, bank sentral menaikkan suku bunga kebijakan utamanya, menandai titik balik bersejarah bagi perekonomian terbesar ketiga di dunia.
Baca Juga: IHSG Akhiri Pekan dengan Koreksi Tipis, Kapitalisasi Pasar Bertahan di Rp 15.788 Triliun
BoJ menaikkan uncollateralized overnight call rate, suku bunga acuan jangka pendeknya, sebesar 25 basis poin menjadi 0,75%. Ini adalah tingkat suku bunga tertinggi yang ditetapkan BoJ sejak September 1995, atau dalam hampir tiga dekade.
Keputusan bersejarah ini diumumkan oleh Bank Sentral Jepang (BoJ) yang berkantor pusat di Tokyo. Gubernur BoJ, Kazuo Ueda, memimpin pertemuan kebijakan dan menyampaikan penilaian bahwa kondisi untuk menormalisasi kebijakan mulai terbentuk.
Rapat Dewan Kebijakan BoJ yang menghasilkan keputusan ini berlangsung pada Jumat, 19 Desember 2025. Pengumuman resmi dilakukan pada hari yang sama, mengonfirmasi ekspektasi pasar yang telah lama menanti langkah ini.
Langkah ini didorong oleh keyakinan yang semakin kuat bahwa ekonomi Jepang telah keluar dari jerat deflasi berkepanjangan. Inflasi inti Jepang (tidak termasuk makanan segar) telah secara konsisten bertahan di atas target BoJ sebesar 2%, bahkan mencapai 3,0% pada November 2025.
Yang krusial, kenaikan harga kini juga didukung oleh tren kenaikan upah dan perubahan perilaku perusahaan dalam menetapkan harga, bukan hanya oleh faktor eksternal sementara seperti harga energi.
Gubernur Kazuo Ueda menyatakan, "Sangat mungkin bahwa upah dan harga akan terus meningkat secara moderat," sambil menekankan bahwa risiko terhadap ekonomi telah menurun meski kewaspadaan tetap diperlukan. Pergeseran fundamental ini memberi BoJ ruang untuk mulai menarik kembali stimulus luar biasa yang telah diterapkan sejak era "Abenomics" pada 2013 dan suku bunga negatif pada 2020.
Dampak langsung akan dirasakan di dalam negeri. Biaya kredit, mulai dari pinjaman perumahan hingga korporasi, diperkirakan akan meningkat. Di sisi lain, imbal hasil tabungan dan instrumen keuangan berbasis Yen juga berpotensi lebih menarik.
Dampak globalnya mungkin lebih signifikan. Keputusan ini menguji ketahanan strategi "Yen Carry Trade", di mana investor selama bertahun-tahun meminjam Yen berbiaya sangat rendah untuk diinvestasikan di aset berimbal hasil tinggi di luar Jepang. Kenaikan biaya pinjaman Yen dapat mendorong investor global menutup posisi tersebut, yang berpotensi memicu arus modal keluar dari pasar negara berkembang dan meningkatkan volatilitas di pasar valas serta obligasi global.
Meski menaikkan suku bunga, BoJ menegaskan bahwa kebijakan moneternya tetap bersifat akomodatif. Dengan inflasi sekitar 3%, suku bunga riil (suku bunga dikurangi inflasi) Jepang masih berada di wilayah negatif, menunjukkan bahwa pengetatan lebih lanjut akan dilakukan secara sangat bertahap dan hati-hati.
Baca Juga: BOJ Akhiri Era Suku Bunga Ultra-Rendah, Naikkan ke Level Tertinggi Sejak 1995
Artikel Terkait
Makanan Sering Lengket di Wajan? Ini 5 Solusi Ampuh & Cara Belanja Wajan Anti-Lengket Terbaik!
Rupiah Menguat di Tengah Pelemahan IHSG: Pasar Respons Keputusan Fed dan Antisipasi Risiko Domestik
Dari Raksasa Impor ke Pengekspor Potensial: Jejak Langkah Indonesia Capai Surplus Beras 4,7 Juta Ton
Kebijakan Tarif AS Picu Banjir Impor, Industri Tekstil dan Furnitur Indonesia Tertekan
IHSG Akhiri Perdagangan di Zona Merah, Sektor Perbankan Jadi Penahan Tekanan
Defisit APBN Tembus Rp560,3 Triliun hingga November, Pemerintah Pastikan Masih Sesuai Jalur
BI Pertahankan Suku Bunga Acuan 4,75%, Fokus pada Stabilitas Rupiah dan Momentum Pertumbuhan
UMP 2026 Jawa Barat Diproyeksi Naik 4,79%-6,87%, Formula Baru Pemerintah Ditolak Serikat Pekerja
BOJ Akhiri Era Suku Bunga Ultra-Rendah, Naikkan ke Level Tertinggi Sejak 1995
IHSG Akhiri Pekan dengan Koreksi Tipis, Kapitalisasi Pasar Bertahan di Rp 15.788 Triliun