Kapan Indonesia Bisa Maju? Melacak Jejak Pencerahan dan Mencetak Masa Depan

photo author
- Senin, 24 November 2025 | 09:25 WIB
Peta bercorak bendera Indonesia (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Berkas:Flag_map_of_Indonesia.svg)
Peta bercorak bendera Indonesia (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Berkas:Flag_map_of_Indonesia.svg)

PROJABAR.COM - Pertanyaan "kapan Indonesia bisa maju?" menggema bagai refleksi panjang atas perjalanan bangsa. Sejarah dunia mencatat, Eropa pernah terpuruk dalam periode "Abad Kegelapan" selama hampir seribu tahun.

Masyarakat pada masa itu banyak diterpa dogma, takhayul, dan otoritas keagamaan yang kaku. Kebebasan berpikir dan perkembangan sains pun terhambat.

Seperti hujan yang akhirnya reda, Eropa bangkit melalui gerakan Renaisans dan Pencerahan. Mereka menempatkan akal, ilmu pengetahuan, dan reformasi institusi sebagai fondasi kemajuan.

Lantas, pelajaran berharga apa yang dapat diambil bangsa Indonesia dari fase sejarah global ini? Bagaimana kita mempercepat proses "pencerahan" sendiri?

Baca Juga: Refleksi: Antara Keyakinan, Ilusi, dan Kekosongan

Belajar dari Eropa: Dari Kegelapan Menuju Cahaya

Zaman Kegelapan Eropa dikenal sebagai Abad Pertengahan (abad ke-5 hingga ke-15). Periode ini ditandai dengan kemunduran peradaban pasca-runtuhnya Kekaisaran Romawi.

Jaringan jalan dan sistem pasokan air rusak. Warisan artistik dan ilmiah ditinggalkan. Kehidupan intelektual mandek. Gereja Katolik Roma menjadi satu-satunya kekuatan pemersatu yang mendominasi hampir semua aspek kehidupan.

Namun, fase ini tidak sepenuhnya gelap. Inovasi seperti bajak berat dan kerah kuda merevolusi pertanian. Upaya Kaisar Charlemagne dalam reformasi pendidikan meletakkan dasar bagi kebangkitan intelektual.

Kemajuan sains dan matematika di dunia Islam turut berkontribusi pada transisi Eropa menuju Renaisans. Kebangkitan Eropa dipicu oleh kelahiran kembali budaya klasik dan penemuan mesin cetak yang mendemokratisasi pengetahuan.

Potret Tantangan Indonesia Kini

Jika Eropa berjuang melawan dogma dan wabah, Indonesia hari ini berhadapan dengan tantangan multidimensi yang tak kalah kompleks.

Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih menjadi batu sandungan besar. Pada Maret 2024, angka kemiskinan tercatat 9,03% atau setara 25,22 juta penduduk. Tingkat pengangguran mencapai 4,8%.

Ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan juga masih lebar. Akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan infrastruktur berkualitas belum merata.

Di pedesaan, ketergantungan pada sektor pertanian tradisional membuat banyak masyarakat terjebak dalam siklus kemiskinan. Di perkotaan, tingginya biaya hidup menciptakan kantong-kemiskinan baru.

 

Baca Juga: Opini Kritis Antara Taat Berlebihan dan Etika Mengkritik: Menimbang Hormat pada Kiai dan Kritik Media

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X