Budaya kekuasaan di Indonesia, tantangan dan peluang perubahannya.

photo author
- Selasa, 9 Desember 2025 | 22:10 WIB
Budaya kekuasaan di Indonesia, tantangan dan peluang perubahannya. (mcbsa. Zoro From One Picee.)
Budaya kekuasaan di Indonesia, tantangan dan peluang perubahannya. (mcbsa. Zoro From One Picee.)

PROJABAR.COM - Budaya kekuasaan di Indonesia adalah warisan sejarah panjang, hasil interaksi antara struktur politik, kekuasaan ekonomi, dan relasi sosial. Kalimat seperti “orang miskin jangan lawan orang kaya, orang kaya jangan lawan pemerintah” menangkap secara puitis praktik hierarkis dan asimetri kekuasaan di mana aktor paling lemah memiliki sedikit peluang melawan, aktor menengah (elite/pebisnis) terbentur kekuatan negara, dan negara (seringkali melibatkan oligarki) memegang supremasi akhir.

Untuk memahami bagaimana kultur kekuasaan seperti itu bisa bertahan, perlu dianalisis bagaimana sejarah membentuk kerangka bagaimana elite menyusun kekuasaan bagaimana institusi dan informalitas bekerja dan apa dampaknya bagi demokrasi, pemerintahan, dan keadilan sosial.


Akar Historis & Warisan Otoritarianisme  “Patrimonialisme yang Terwaris”

Sebelum reformasi 1998, negara di Indonesia menunjukkan karakteristik patrimonialisme yang kuat. Dalam studi klasik Patrimonialisme dan pemerintahan militer-otoriter di Indonesia, misalnya selama periode Guided Democracy dan rezim Orde Baru, kekuasaan politik cenderung dibangun atas dasar loyalitas pribadi, patronase, dan patron–klien bukan atas meritokrasi atau institusi demokratis.

Saat itu, untuk menjaga stabilitas, rezim mengekang kompetisi politik terbuka, membatasi pluralisme, dan mendepolitisasi massa kekuasaan dikonsentrasikan di tangan segelintir elite militer dan birokrat.

Padahal struktur politik semacam itu menciptakan ketimpangan kekuasaan bukan hanya dalam akses terhadap ekonomi, tetapi juga akses terhadap hukum, politik, dan sumber daya negara. Karena patronase dan loyalitas personal lebih penting daripada kompetensi, maka akses ke posisi kekuasaan terbatas pada jaringan elite yang sudah ada ini membentuk budaya bahwa kekuasaan adalah warisan, bukan hak yang bisa diakses semua orang.

Ketika krisis finansial Asia 1997 melanda dan diikuti dengan keruntuhan Orde Baru titik balik terjadi. Reformasi 1998 membuka peluang demokratisasi, desentralisasi, dan pembaruan institusi. Namun meskipun struktur formal berubah, kultur informal patronase, nepotisme, klienelisme terbukti adaptif dan terus hidup, meskipun dalam wujud yang sedikit berbeda.

Dengan demikian, budaya kekuasaan di Indonesia bukan hanya sisa rezim otoriter ia adalah warisan struktural yang mampu bertransformasi dan bersembunyi di balik demokrasi formal.


Pola Kekuasaan Kontemporer: Oligarki, Dinasti, Klienelisme & Patronase

Setelah reformasi dan terutama desentralisasi yang memberikan wewenang lebih besar ke daerah  muncul pola baru kekuasaan, tapi pada banyak kasus, pola lama bertransformasi. Berikut beberapa pola dominan saat ini:

1. Oligarki & Dinasti Politik

Penelitian terkini menunjukkan bahwa penyelenggaraan politik elektoral di Indonesia dibebani oleh fenomena High Cost Politics biaya politik yang sangat tinggi, terutama biaya kampanye, mobilisasi massa, dan jaringan patronase.

Akibatnya hanya aktor dengan modal besar (ekonomi maupun jaringan) yang mampu bersaing secara efektif  sehingga kekuasaan cenderung berada di tangan segelintir elit, membentuk struktur oligarkis.

Lebih jauh, muncul fenomena Politik Dinasti di mana anggota keluarga elite, atau mereka yang terhubung dalam jaringan patronase lama, terus menduduki posisi jabatan publik melalui pewarisan “kapital politik” dan “modal sosial”.

Penelitian menunjukkan bahwa regulasi di Indonesia belum cukup kuat untuk mengekang dominasi politik dinasti lubang hukum dan pengawasan yang lemah memungkinkan mereka mempertahankan kekuasaan.

Dengan demikian, demokrasi formal pemilu, desentralisasi, partisipasi gagal menuntaskan tujuan meritokrasi dan representasi adil; sebaliknya, struktur kekuasaan tetap elitis dan tertutup.

2. Klienelisme & Patronase dari Nasional ke Lokal

Dengan desentralisasi, kekuasaan politik dan alokasi sumber daya menjadi tersebar di tingkat provinsi, kabupaten, desa. Namun ini juga memperkuat klienelisme dan patronase di tingkat lokal. Studi pada pemilihan kepala desa (pilkades) menunjukkan bahwa kepala desa (dan keluarganya) sering kali dari garis lama elite lokal terus memegang kontrol atas politik lokal memobilisasi suara melalui jaringannya, menawarkan “imbalan” berupa proyek, layanan, akses ekonomi; menjadikan status sosial dan jaringan sebagai instrumen kekuasaan.

Bahkan ketika pemilihan dilakukan secara demokratis, distribusi sumber daya publik proyek, bantuan, kontrak  sering kali dipakai sebagai alat patronase.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X