Indonesia di Persimpangan Transisi Energi: Retorika Ambisius vs Realita Kebijakan

photo author
- Senin, 24 November 2025 | 08:15 WIB
PLTP Lahendong di Kota Tomohon Sulawesi Utara  Energi Terbarukan Terbesar Penopang Listrik Sulutgo.
PLTP Lahendong di Kota Tomohon Sulawesi Utara Energi Terbarukan Terbesar Penopang Listrik Sulutgo.

PROJABAR.COM - Komitmen Indonesia untuk mencapai masa depan energi bersih terus disuarakan di forum internasional. Presiden Prabowo Subianto berjanji menghentikan seluruh PLTU batubara dalam 15 tahun ke depan dan menargetkan 100% energi terbarukan.

Namun di dalam negeri, kebijakan energi justru berjalan mundur. Dokumen perencanaan nasional masih mengukuhkan ketergantungan pada energi fosil hingga 2060. Ini menciptakan paradoks antara janji dan realita.

Apa penyebab lebaranya jurang antara ambisi dan pelaksanaan? Analisis mengungkap kompleksitas tantangan yang dihadapi Indonesia.

Baca Juga: Insinyur sebagai Menteri Keuangan: Membawa Pendekatan Sistem untuk Memecahkan Masalah Ekonomi

Kontradiksi dalam Dokumen Perencanaan

Bukti nyata kontradiksi ini terlihat dalam dua dokumen kunci. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) justru menurunkan target bauran energi terbarukan untuk 2030 menjadi 19-23%.

Dokumen ini juga masih mengalokasikan porsi untuk batubara sebanyak 7,8-11,9% hingga 2060. Sementara RUPTL 2025-2034 mengalokasikan tambahan kapasitas pembangkit fosil 16,6 gigawatt.

Tabel 1: Kontradiksi Kebijakan Energi Indonesia

Komitmen & Kebijakan Target/Isi
Janji Internasional Hentikan PLTU dalam 15 tahun; 100% energi terbarukan
KEN 2025 Target EBT 2030: 19-23%; Batubara hingga 2060
RUPTL 2025-2034 Tambah kapasitas fosil 16.6 GW

“Di KEN target bauran 19-23%, tapi di RUPTL 34,3%. Ini membingungkan, pakai target mana?” kata Wicaksono Gitawan dari Yayasan Indonesia CERAH.

Baca Juga: Dualisme Regulasi: Ketika 42.000 Pesantren Toleran terhadap IMB, Sementara Rumah Ibadah Lain Dipersulit

Dilema Nikel dan Kerusakan Lingkungan

Ironisnya, transisi energi justru menimbulkan kerusakan lingkungan baru. Industri hilirisasi nikel untuk kendaraan listrik mengandalkan PLTU captive batubara.

Di Sulawesi Tenggara, PLTU ini menyebabkan peningkatan kasus ISPA dan pencemaran air oleh logam berat. Gian Purnama Sari dari Walhi Sultra menilai Perpres 112/2022 kontradiktif.

“Kita harus bicara keadilan ekologis. PLTU industri mengakibatkan pelanggaran HAM,” tegasnya. La Ode Muhammad Aslan menambahkan laut yang dulu jernih kini berubah coklat pekat.

Baca Juga: Menteri Keuangan Baru di Tengah Kabinet Gemuk: Antara Gaya Blak-blakan dan Warisan Berat

Hambatan dan Solusi

Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sangat besar. Potensi teknis surya mencapai 7.700 GW, tapi baru dimanfaatkan kurang dari 1 GW.

Hambatan utama meliputi:

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X