PROJABAR.COM - Komitmen Indonesia untuk mencapai masa depan energi bersih terus disuarakan di forum internasional. Presiden Prabowo Subianto berjanji menghentikan seluruh PLTU batubara dalam 15 tahun ke depan dan menargetkan 100% energi terbarukan.
Namun di dalam negeri, kebijakan energi justru berjalan mundur. Dokumen perencanaan nasional masih mengukuhkan ketergantungan pada energi fosil hingga 2060. Ini menciptakan paradoks antara janji dan realita.
Apa penyebab lebaranya jurang antara ambisi dan pelaksanaan? Analisis mengungkap kompleksitas tantangan yang dihadapi Indonesia.
Baca Juga: Insinyur sebagai Menteri Keuangan: Membawa Pendekatan Sistem untuk Memecahkan Masalah Ekonomi
Kontradiksi dalam Dokumen Perencanaan
Bukti nyata kontradiksi ini terlihat dalam dua dokumen kunci. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) justru menurunkan target bauran energi terbarukan untuk 2030 menjadi 19-23%.
Dokumen ini juga masih mengalokasikan porsi untuk batubara sebanyak 7,8-11,9% hingga 2060. Sementara RUPTL 2025-2034 mengalokasikan tambahan kapasitas pembangkit fosil 16,6 gigawatt.
Tabel 1: Kontradiksi Kebijakan Energi Indonesia
| Komitmen & Kebijakan | Target/Isi |
|---|---|
| Janji Internasional | Hentikan PLTU dalam 15 tahun; 100% energi terbarukan |
| KEN 2025 | Target EBT 2030: 19-23%; Batubara hingga 2060 |
| RUPTL 2025-2034 | Tambah kapasitas fosil 16.6 GW |
“Di KEN target bauran 19-23%, tapi di RUPTL 34,3%. Ini membingungkan, pakai target mana?” kata Wicaksono Gitawan dari Yayasan Indonesia CERAH.
Dilema Nikel dan Kerusakan Lingkungan
Ironisnya, transisi energi justru menimbulkan kerusakan lingkungan baru. Industri hilirisasi nikel untuk kendaraan listrik mengandalkan PLTU captive batubara.
Di Sulawesi Tenggara, PLTU ini menyebabkan peningkatan kasus ISPA dan pencemaran air oleh logam berat. Gian Purnama Sari dari Walhi Sultra menilai Perpres 112/2022 kontradiktif.
“Kita harus bicara keadilan ekologis. PLTU industri mengakibatkan pelanggaran HAM,” tegasnya. La Ode Muhammad Aslan menambahkan laut yang dulu jernih kini berubah coklat pekat.
Baca Juga: Menteri Keuangan Baru di Tengah Kabinet Gemuk: Antara Gaya Blak-blakan dan Warisan Berat
Hambatan dan Solusi
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sangat besar. Potensi teknis surya mencapai 7.700 GW, tapi baru dimanfaatkan kurang dari 1 GW.
Hambatan utama meliputi:
Artikel Terkait
Menteri Keuangan Baru di Tengah Kabinet "Gemuk": Antara Gaya Blak-blakan dan Warisan Berat
Imajinasi Musisi Dibunuh Industri: Jangan Lagu Cinta Melulu
Insinyur sebagai Menteri Keuangan: Membawa Pendekatan Sistem untuk Memecahkan Masalah Ekonomi
KUHAP Baru Dikritik Tajam: Pasal Bermasalah Ancam Kebebasan Warga dan Keadilan
Kronologi Pasal 16 RKUHAP: Dari Reformasi Hukum ke Celah Penjebakan
Ruang Gerak Persempit: Ancaman KUHAP Baru bagi Masa Depan Jurnalisme Investigasi di Indonesia
[Update] Produktivitas Tanpa Legitimasi: Kinerja DPR 2024-2029 di Bayangi Krisis Kepercayaan Publik
[UPDATE] Kinerja DPR 2024-2029: Antara Harapan Checks and Balances dan Bayang-bayang Krisis Kepercayaan Publik
Di Balik Penertiban PSE, Ada Apa dengan Kedaulatan Digital Indonesia?
Analisis Kebijakan Penertiban Ruang Digital: Antara Keamanan Nasional dan Kebebasan Sipil