Perdebatan Qur’an-Only vs Tradisi Hadis di Indonesia: Makna Shalat, Otoritas Ulama, dan Risiko Polarisasi

photo author
- Senin, 1 Desember 2025 | 22:45 WIB
Qur’an-Only vs Tradisi Hadis (Gambar oleh Zain Saade dari Pixabay, Tulisan Judul Oleh mcbsa)
Qur’an-Only vs Tradisi Hadis (Gambar oleh Zain Saade dari Pixabay, Tulisan Judul Oleh mcbsa)

PROJABAR.COM - Perdebatan antara penganut paham “Qur’an-only” (Quranis) dan kelompok yang menegaskan otoritas hadis kembali mencuat di ruang publik Indonesia, memicu perdebatan teologis sekaligus gesekan sosial. Isu inti meliputi: apa sebenarnya makna kata shalat dalam Al-Qur’an, seberapa wajib peran hadis sebagai sumber hukum, siapa yang berwenang menafsirkan, dan bagaimana negara serta lembaga keagamaan menanggapi klaim-klaim tersebut.
Baca Juga: Kontroversi Pemotongan BLT: Ketika Ideologi Pancasila ‘Keadilan Sosial’ Dipakai Sebagai Dalih

Apa yang diperdebatkan?
Perdebatan berfokus pada dua klaim besar:
1) kelompok Quranis berargumen Al-Qur’an cukup sebagai sumber utama dan sebagian praktik ritual (termasuk konsep shalat) sebaiknya dibaca kontekstual dan tidak disempitkan oleh tata cara ritual dari kitab-kitab hadis;
2) mayoritas ulama tradisional menegaskan bahwa hadis sebagai rekaman ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi berfungsi melengkapi dan merinci ketentuan Al-Qur’an. Perbedaan ini berdampak pada pendidikan religius, kepatuhan ritual, dan kebijakan publik.

Siapa aktor utamanya?
Aktor yang terlibat meliputi penganut ide Quranis (beragam, kadang terbuka, kadang radikal), ulama tradisional dan ormas besar, lembaga fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), akademisi tafsir, dan aktor politik/media yang memobilisasi isu untuk kepentingan elektoral atau identitas sosial.
Di masyarakat, perdebatan sering beralih ke ranah media sosial di mana suara-suara Quranis kadang kuat sedangkan tekanan di ruang nyata cenderung datang dari institusi keagamaan dan opini publik.

Di mana dan sejak kapan menguat?
Di Indonesia, dinamika ini bukan fenomena baru tapi semakin tampak sejak akhir abad ke-20 dan memperkuat lagi pada era digital (2010-sekarang). Wacana tentang “Qur’an-first” tumbuh seiring meluasnya akses terjemahan, tafsir mandiri, dan platform daring; sementara institusi tradisional termasuk MUI mengokohkan kriteria fatwa terhadap apa yang dikategorikan “aliran sesat” atau penyimpangan.

Mengapa isu ini memicu ketegangan?
Beberapa faktor yang mendorong ketegangan:

Kebutuhan identitas dan kepastian hukum: Masyarakat dan negara menghendaki aturan praktis (mis. tata cara ibadah) sehingga hadis dan tradisi fikih menjadi rujukan operasional.

Peran lembaga fatwa: MUI menetapkan kriteria yang melarang penolakan kedudukan hadis dan tindakan yang dianggap mengubah pokok ibadah keputusan-keputusan tersebut memberi konsekuensi sosial dan administratif.
Sebagai contoh, Prof. Dr. KH. Asrorun Niam Sholeh, Ketua MUI Bidang Fatwa, menegaskan bahwa MUI memformalkan kriteria aliran sesat untuk “melindungi umat dari akidah yang salah”, dan bahwa penetapan fatwa dilakukan setelah kajian.
MUI

Politik identitas & hukum pidana: Kasus politik-agama seperti perkara penistaan yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2016-2017 menunjukkan bagaimana masalah tafsir Qur’an/Hadis dapat dipolitisasi dan berujung aksi massa serta proses hukum (putusan pengadilan 9 Mei 2017). Peristiwa itu menjadi contoh konkret bagaimana kontestasi tafsir bisa memicu krisis sosial-politik.

Bagaimana perdebatan berlangsung dan konsekuensinya?
Secara praktis, wacana bergerak lewat tiga jalur:
1) akademik - Penelitian tafsir kontekstual dan kritik historis terhadap kodifikasi hadis.
2) lembaga keagamaan - Fatwa dan pendidikan pesantren/madrasah yang meneguhkan praktik tradisional.
3) medsos & publik - forum daring (Quora, YouTube, blog) di mana ide-ide Quranis viral namun seringkali melemah di ranah nyata karena risiko sosial-politik. Konsekuensi riil termasuk potensi marginalisasi kelompok kecil (fatwa, tekanan sosial), polarisasi publik, dan tantangan bagi pendidikan agama agar seimbang antara pembelajaran teks dan pengajaran ritual.

Fakta terverifikasi & kutipan resmi

MUI menetapkan 10 kriteria aliran sesat, salah satu poinnya adalah “Mengingkari kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam”. Pernyataan ini disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Asrorun Niam Sholeh pada 25 Maret 2024 di acara Upgrading dan Silaturahmi Alumni Standardisasi Dai MUI di Wisma Mandiri, Jakarta.
“Salah satu yang menjadi tugas MUI adalah melakukan perlindungan kepada umat dari akidah yang salah dan sesat,” ujarnya.

Kasus politik-agama: panel pengadilan di Jakarta menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 9 Mei 2017 atas tuduhan penistaan agama peristiwa ini memicu demonstrasi besar pada 2016.

Kajian akademik menunjukkan studi Al-Qur’an di Indonesia berkembang menjadi beragam paradigma (tekstual dan kontekstual), dan wacana interpretasi meningkat sejak akhir abad ke-20, sejalan dengan perkembangan pendidikan modern dan platform publik. (Muhammad Fajri, Dynamics of The Study of The Quran in Indonesia, dipublikasikan 31 Juni 2021 [tanggal publikasi dalam makalah]).

Baca Juga: Ketika “Berbagi” Menjadi Beban-Meninjau Praktik Pemotongan Dana Bantuan dari Perspektif Islam dan Hukum

 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X