PROJABAR.COM - Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni menegaskan sedang berlangsung penyelidikan terhadap 12 subjek hukum, diduga berupa perusahaan, yang terindikasi melanggar aturan dan memperparah bencana banjir serta longsor di Sumatera. Meski tekanan dari anggota DPR menguat, identitas perusahaan-perusahaan tersebut sengaja dirahasiakan dengan alasan proses penegakan hukum masih berjalan.
Raja Juli menyampaikan hal tersebut dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis, 4 Desember 2025. “Gakkum Kehutanan sedang melakukan investigasi subjek hukum yang terindikasi berkontribusi terhadap terjadinya bencana banjir longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar,” ujarnya.
Baca Juga: Purbaya Banggakan IHSG Tembus 8.600 di BEI, Singgung Koordinasi dengan BI dan Kritik Media Asing
Tekanan dari DPR untuk Membuka Nama
Penolakan Menhut untuk membuka nama perusahaan-perusahaan itu langsung memantik reaksi dari anggota Komisi IV DPR. Anggota fraksi Partai Gerindra, Melati, menyatakan kekecewaan dan meminta Raja Juli tidak melibatkan Presiden sebagai alasan. “Pak Menteri adalah yang membantu Presiden. Jadi, tidak usah melibatkan, harus persetujuan beliau (presiden). Harusnya ya Pak Menteri,” tegas Melati.
Anggota dari Fraksi PDIP, Sonny T Danaparamita, juga mempertanyakan hal serupa. Ia menekankan banyaknya kayu gelondongan yang terbawa banjir membuktikan praktik pembalakan liar, yang kemungkinan melibatkan korporasi besar. Menanggapi desakan tersebut, Raja Juli tetap bersikukuh. “Oh, saya belum bisa sebutkan. Karena ini masih proses hukum ya,” katanya.
Skala Bencana yang Memicu Investigasi
Penyelidikan terhadap perusahaan-perusahaan ini dilatar belakangi bencana hidrometeorologi masif yang melanda tiga provinsi di Sumatera akhir November 2025. Berdasarkan data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 3 Desember 2025, korban jiwa telah mencapai 770 orang meninggal dan 463 orang masih hilang. Sebanyak 3,2 juta jiwa terdampak, dengan ribuan rumah serta fasilitas umum seperti jembatan dan sekolah mengalami kerusakan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut pemicu utamanya adalah fenomena siklon tropis yang menyebabkan curah hujan ekstrem, bahkan ada yang mencapai 411 mm dalam satu hari di Kabupaten Bireuen, Aceh. Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani menjelaskan, intensitas hujan yang sangat tinggi itu kemudian tidak dapat ditahan oleh tanah, terutama di daerah-daerah yang kondisi lahannya sudah mengalami kerusakan.
Penyelidikan Terpisah dari Kementerian LHK
Selain investigasi dari Kementerian Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Hanif Faisol Nurofiq juga menyatakan sedang memanggil delapan perusahaan yang beroperasi di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, Sumatera Utara. Pemanggilan ini dilakukan untuk menelusuri asal-usul kayu yang terbawa arus banjir yang memenuhi sungai.
Salah satu perusahaan yang telah dikonfirmasi masuk dalam daftar pemanggilan tersebut adalah PT Agincourt Resources, pengelola Tambang Emas Martabe. Perusahaan ini telah membantah keterkaitan operasinya dengan banjir bandang, dengan alasan lokasi bencananya berada di DAS yang berbeda.
Tuduhan Organisasi Lingkungan Hidup
Sebelum pengumuman pemerintah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara telah menduga kuat bencana terkait dengan aktivitas sejumlah perusahaan di kawasan Batang Toru. Dalam rilisnya, WALHI menyebut tujuh nama perusahaan, termasuk PT Agincourt Resources, PT North Sumatera Hydro Energy (PLTA Batang Toru), dan PT Toba Pulp Lestari.
Rianda Purba, Direktur WALHI Sumut, menegaskan bencana ini merupakan hasil akumulasi dari hilangnya fungsi hutan Harangan Tapanuli sebagai penyangga hidrologi alami selama dua dekade terakhir, akibat masifnya investasi industri ekstraktif dan perkebunan.
Klaim Penurunan Deforestasi
Di tengah sorotan atas kerusakan lingkungan, Menhut Raja Juli Antoni menyampaikan data bahwa tingkat deforestasi nasional hingga September 2025 menunjukkan penurunan 23,01 persen dibanding periode sama tahun 2024. Ia mengklaim tren penurunan juga terjadi di ketiga provinsi terdampak banjir: Aceh (10,04%), Sumatera Utara (13,98%), dan Sumatera Barat (14%).
Namun, di sisi lain, ia juga mengakui terjadi perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi non-hutan di 31 DAS wilayah terdampak. Di Sumatera Utara saja, pada kurun 2019-2024, perubahan terjadi di area seluas 9.424 hektare. Fakta ini mengindikasikan bahwa meski laju deforestasi melambat, degradasi lingkungan di daerah-daerah krusial seperti daerah aliran sungai tetap berlangsung dan berkontribusi pada kerentanan bencana.
Baca Juga: Analis Bareksa Soroti DEWA, AADI, dan BBRI, Proyeksi IHSG Lanjut Menguat
Artikel Terkait
Jawa Barat Puncaki Daerah Paling Rawan Banjir dan Longsor dalam 16 Tahun Terakhir, BMKG Ingatkan Masa Kritis Nataru
108 Kali Guncangan di Jawa Barat Selama November 2025, BMKG: Aktivitas Sesar Aktif
Deretan Event Akhir Tahun Ramaikan Pariwisata Jawa Barat, Disparbud Siapkan Strategi Dongkrak Kunjungan
Kritik yang Membangun: Memahami Fungsi Sosialnya sebagai Pilar Demokrasi, Bukan Ancaman
Setelah 1,2 Juta Hektare Hilang, Jabar Siagakan Moratorium dan Rehabilitasi Hadapi Kerentanan Bencana
Temuan 176 Titik Tambang Ilegal di Jabar Picu Kekhawatiran Banjir Lebih Parah
Aktor Senior Epy Kusnandar Berpulang, Karakter Kang Mus 'Preman Pensiun' dan Perjuangan Panjang Melawan Tumor Otak
Jawa Barat Kokoh sebagai Primadona Pariwisata Nasional, Catat 17 Juta Kunjungan pada Oktober 2025
Purbaya Banggakan IHSG Tembus 8.600 di BEI, Singgung Koordinasi dengan BI dan Kritik Media Asing
Analis Bareksa Soroti DEWA, AADI, dan BBRI, Proyeksi IHSG Lanjut Menguat