Melampaui Tragedi Nasional: Memaknai Hari Hak Penistaan Agama Internasional di Tanggal 30 September

photo author
- Selasa, 30 September 2025 | 16:30 WIB
Simbol Agama-agama (Gambar oleh Rosy / Bad Homburg / Germany dari Pixabay)
Simbol Agama-agama (Gambar oleh Rosy / Bad Homburg / Germany dari Pixabay)

PROJABAR.COM - Tanggal 30 September di Indonesia secara historis lekat dengan peringatan tragedi nasional G30S/PKI. Namun, di ranah global, tanggal yang sama juga diperingati sebagai Hari Hak Penistaan Agama Internasional (International Blasphemy Rights Day).

Peringatan ini menawarkan perspektif berbeda, yang berfokus pada advokasi kebebasan berekspresi dan kritik terhadap undang-undang penistaan agama yang masih berlaku di banyak belahan dunia.

Peringatan ini pertama kali dideklarasikan pada tahun 2009 oleh Center for Inquiry (CFI), sebuah organisasi yang berfokus pada pemikiran kritis dan sekular.

Pemilihan tanggal 30 September bukanlah tanpa alasan, melainkan merujuk pada peristiwa bersejarah yang memicu debat internasional tentang batasan kebebasan berpendapat dan sensitivitas agama.

Baca Juga: Pergeseran Ancaman Moral: Mengapa Potensi Kejahatan Manusia Melampaui Dosa Iblis

Asal Usul dalam Kontroversi Kartun

Pada 30 September 2005, surat kabar Denmark, Jyllands-Posten, memublikasikan dua belas kartun editorial yang menggambarkan Nabi Muhammad. Publikasi ini, yang dianggap oleh surat kabar tersebut sebagai upaya untuk mendiskusikan kritik dan penyensoran dalam Islam, justru memicu kemarahan dari kelompok-kelompok Muslim di Denmark dan kemudian bereskalasi secara global.

Protes meluas menjadi kekerasan, dengan kedutaan besar Denmark di beberapa negara dibom dan lebih dari 100 orang tewas dalam berbagai insiden. Kontroversi ini menyoroti benturan tajam antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama.

Merespons peristiwa inilah, Hari Hak Penistaan Agama Internasional kemudian ditetapkan untuk memperingati tanggal publikasi kartun tersebut, dengan maksud membela prinsip kebebasan berbicara.

Misi dan Tujuan Dibalik Peringatan

Tujuan utama dari peringatan ini seringkali disalahpahami. Para pendukungnya menekankan bahwa ini bukanlah sebuah ajakan untuk menghina atau menistakan agama secara sembarangan.

Baca Juga: Efek Domino Ritual Kosong, Dari Ibadah 'Asal Jadi' ke Rusaknya Etos Kerja dan Budaya Publik

  • Membela Kebebasan Berekspresi: Inti dari peringatan ini adalah menegaskan bahwa keyakinan agama, layaknya ideologi politik, harus terbuka untuk diperdebatkan, dipertanyakan, dan dikritik tanpa ancaman hukuman atau kekerasan.

    Ronald A. Lindsay, mantan CEO Center for Inquiry, menyatakan bahwa masyarakat kerap memiliki "tabu" terhadap kritik agama yang perlu diatasi.

  • Menyoroti Kekejaman Hukum Penistaan: Peringatan ini bertujuan untuk mengedukasi publik tentang masih berlakunya hukum penistaan agama di lebih dari 69 negara.

    Di beberapa negara seperti Afghanistan, Pakistan, Iran, Arab Saudi, dan bagian utara Nigeria, pelanggaran hukum ini bahkan dapat dihukum mati.

    Hukum-hukum ini dinilai kerap digunakan untuk membungkam suara kritis, mempersekusi kelompok minoritas agama, dan menekan kebebasan berpikir.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X