PROJABAR.COM - Tanggal 30 September di Indonesia secara historis lekat dengan peringatan tragedi nasional G30S/PKI. Namun, di ranah global, tanggal yang sama juga diperingati sebagai Hari Hak Penistaan Agama Internasional (International Blasphemy Rights Day).
Peringatan ini menawarkan perspektif berbeda, yang berfokus pada advokasi kebebasan berekspresi dan kritik terhadap undang-undang penistaan agama yang masih berlaku di banyak belahan dunia.
Peringatan ini pertama kali dideklarasikan pada tahun 2009 oleh Center for Inquiry (CFI), sebuah organisasi yang berfokus pada pemikiran kritis dan sekular.
Pemilihan tanggal 30 September bukanlah tanpa alasan, melainkan merujuk pada peristiwa bersejarah yang memicu debat internasional tentang batasan kebebasan berpendapat dan sensitivitas agama.
Baca Juga: Pergeseran Ancaman Moral: Mengapa Potensi Kejahatan Manusia Melampaui Dosa Iblis
Asal Usul dalam Kontroversi Kartun
Pada 30 September 2005, surat kabar Denmark, Jyllands-Posten, memublikasikan dua belas kartun editorial yang menggambarkan Nabi Muhammad. Publikasi ini, yang dianggap oleh surat kabar tersebut sebagai upaya untuk mendiskusikan kritik dan penyensoran dalam Islam, justru memicu kemarahan dari kelompok-kelompok Muslim di Denmark dan kemudian bereskalasi secara global.
Protes meluas menjadi kekerasan, dengan kedutaan besar Denmark di beberapa negara dibom dan lebih dari 100 orang tewas dalam berbagai insiden. Kontroversi ini menyoroti benturan tajam antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama.
Merespons peristiwa inilah, Hari Hak Penistaan Agama Internasional kemudian ditetapkan untuk memperingati tanggal publikasi kartun tersebut, dengan maksud membela prinsip kebebasan berbicara.
Misi dan Tujuan Dibalik Peringatan
Tujuan utama dari peringatan ini seringkali disalahpahami. Para pendukungnya menekankan bahwa ini bukanlah sebuah ajakan untuk menghina atau menistakan agama secara sembarangan.
Baca Juga: Efek Domino Ritual Kosong, Dari Ibadah 'Asal Jadi' ke Rusaknya Etos Kerja dan Budaya Publik
-
Membela Kebebasan Berekspresi: Inti dari peringatan ini adalah menegaskan bahwa keyakinan agama, layaknya ideologi politik, harus terbuka untuk diperdebatkan, dipertanyakan, dan dikritik tanpa ancaman hukuman atau kekerasan.
Ronald A. Lindsay, mantan CEO Center for Inquiry, menyatakan bahwa masyarakat kerap memiliki "tabu" terhadap kritik agama yang perlu diatasi.
-
Menyoroti Kekejaman Hukum Penistaan: Peringatan ini bertujuan untuk mengedukasi publik tentang masih berlakunya hukum penistaan agama di lebih dari 69 negara.
Di beberapa negara seperti Afghanistan, Pakistan, Iran, Arab Saudi, dan bagian utara Nigeria, pelanggaran hukum ini bahkan dapat dihukum mati.
Hukum-hukum ini dinilai kerap digunakan untuk membungkam suara kritis, mempersekusi kelompok minoritas agama, dan menekan kebebasan berpikir.
Artikel Terkait
Tatkala Ibadah Tak Lagi Mencegah Korupsi, Menggugat Paradoks Kesalehan Ritual di Indonesia
Psikologi Koruptor Saleh, 3 Mekanisme Batin yang Memisahkan Ibadah dari Integritas
Efek Domino Ritual Kosong, Dari Ibadah 'Asal Jadi' ke Rusaknya Etos Kerja dan Budaya Publik
Bukan Sekadar Hukum, Ini 5 Jalan Spiritual untuk Memberantas Korupsi dari Akarnya
Demi Konten dan Estetika, Haruskah Akal Sehat Dikorbankan?
Generasi 'Sarjana Kertas': Jago Teori, Gagap Eksekusi, dan Ahli Menyalahkan Situasi
Cicit Bung Karno di Kursi Jateng: Warisan Politik atau Warisan Keluarga?
Juara Dunia Dermawan, Juara Mental Koruptor. Wajah Munafik Bangsa di Cermin Statistik
Sekolah 'Agamis' Jadi Sarang Penyakit Moral?, Saat Amanah Dikorbankan Demi Citra
Iblis Pun Tidak Munafik, Sebuah Tamparan bagi Kesalehan Performatif Kita