Krisis Keracunan Massal Program Makan Bergizi Gratis di Jawa Barat: Sebuah Kegagalan Sistemik?

photo author
- Minggu, 28 September 2025 | 09:15 WIB
Presiden Prabowo panggil Kepala BGN hingga penyelesaiannya untuk atasi kasus keracunan MBG. (Instagram/badangizinasional.ri)
Presiden Prabowo panggil Kepala BGN hingga penyelesaiannya untuk atasi kasus keracunan MBG. (Instagram/badangizinasional.ri)

PROJABAR.COM - Insiden keracunan massal yang melanda peserta Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Jawa Barat pada September 2025 mencoret ambisi baik program nasional ini. Peristiwa ini bukanlah kesalahan teknis sesaat, melainkan puncak gunung es dari kegagalan sistemik dalam tata kelola, pengawasan, dan operasional program.

Apa yang sebenarnya terjadi? Krisis kesehatan masyarakat ini bermula pada akhir September 2025, tepatnya pada Senin, 22 September, di Kabupaten Bandung Barat. Gejala keracunan makanan seperti mual, muntah, diare, dan demam dilaporkan merebak di sejumlah sekolah. Dalam hitungan hari, wabah meluas setidaknya ke 10 kota/kabupaten lain, termasuk Sumedang, Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya. Jumlah korban, yang mayoritas adalah siswa sekolah, melonjak drastis. Di Bandung Barat saja, korban yang tercatat melampaui 1.333 orang, mendorong pemerintah setempat menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).

Baca Juga: 1.333 Warga Bandung Barat Keracunan Massal Usai Santap Makan Bergizi Gratis (MBG)

Siapa yang terlibat dalam penanganan krisis? Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana program turun langsung. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memanggil perwakilan BGN untuk evaluasi mendalam dan mempertimbangkan penghentian sementara program. BGN membentuk tim investigasi dan berkoordinasi dengan Bareskrim Polri untuk menyelidiki kemungkinan unsur kelalaian.

Mengapa keracunan ini bisa terjadi? Investigasi Laboratorium Kesehatan (Labkes) Provinsi Jawa Barat menyimpulkan penyebab langsungnya adalah makanan basi yang terkontaminasi bakteri patogen E. coli dan Salmonella. Kontaminasi ini akibat pelanggaran kritis Standar Operasional Prosedur (SOP). Makanan matang dibiarkan dalam suhu ruang selama berjam-jam, jauh melebihi batas aman 4-6 jam, sehingga menjadi media ideal perkembangbiakan bakteri. Yang lebih memprihatinkan, 85% Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur di Bandung Barat dilaporkan beroperasi tanpa sertifikasi laik sehat.

Baca Juga: Laboratorium Kesehatan Jabar Ungkap Dua Faktor Penyebab Makanan MBG Cepat Basi hingga Picu Keracunan Massal

Di mana letak kegagalan sistemiknya? Analisis kebijakan mengungkap akar masalahnya pada tata kelola yang lemah. Program berskala nasional dengan anggaran triliunan rupiah ini awalnya dijalankan dengan landasan hukum yang rapuh, menyebabkan koordinasi lintas kementerian dan daerah menjadi kacau. Pengawasan keamanan pangan seperti prinsip Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) tidak ditegakkan. Akibatnya, terjadi "lotre kualitas" bagi penerima manfaat.

Kapan respons dan reformasi dilakukan? Pasca-krisis, BGN mengambil langkah tegas dengan menutup puluhan SPPG yang nakal dan mengancam sanksi pidana bagi operator yang lalai. Mereka juga mengeluarkan aturan baru yang lebih ketat, seperti kewajiban setiap SPPG dipimpin oleh koki profesional dan pengujian organoleptik sebelum makanan dibagikan.

Bagaimana jalan ke depan? Krisis ini menjadi pelajaran mahal bahwa program sekompleks MBG membutuhkan fondasi hukum yang kuat (Peraturan Presiden), penegakan standar keamanan pangan yang wajib, dan sistem pembayaran yang tidak membebani UMKM. Tanpa reformasi mendasar, program ini berisiko tinggi mengulangi bencana serupa.

Baca Juga: Usai Keracunan Massal 657 Siswa, Dapur SPPG Al-Bayyinah 2 di Garut Resmi Ditutup

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X