PROJABAR.COM - Di banyak percakapan, kita sering melihat orang berbicara dengan kepastian yang seolah tak bisa diganggu gugat ini benar, itu salah, ini boleh, itu tidak boleh, ini halal, itu haram. Kategori-kategori itu memudahkan kita mengambil keputusan cepat, tetapi ada harga yang harus dibayar kita sering kehilangan kesempatan untuk memahami kenyataan yang lebih rumit.
Padahal, dunia tidak selalu tunduk pada dua pilihan. Ada ruang di antara keduanya ruang yang sering diabaikan, padahal justru di sanalah pemahaman lebih dalam lahir. Ruang itu bernama ambiguitas.
Mengapa ambiguitas perlu dihargai?
Ambiguitas bukan berarti bingung atau tidak punya pendirian. Ambiguitas adalah pengakuan bahwa tidak semua hal dapat langsung diberi label tegas. Ia mengundang kita untuk berhenti sejenak, melihat lebih teliti, dan menimbang ulang sebelum memutuskan.
Dalam banyak situasi dari membaca teks suci, memahami perilaku manusia, sampai mengambil keputusan etis sikap ini justru lebih jujur dan lebih bertanggung jawab.
Menariknya, dua ranah yang jarang disatukan justru memandang ambiguitas sebagai bagian penting dari pengetahuan logika modern dan filsafat Timur.
Logika non-biner: ketika kebenaran tidak satu warna
Logika yang biasa kita kenal hanya mengenal dua nilai: benar atau salah. Namun banyak pemikir modern menyadari bahwa dunia tidak sesederhana itu. Misalnya:
-
Ada pernyataan yang belum bisa kita bilang benar atau salah karena bukti belum lengkap.
-
Ada hal-hal yang berada di antara keduanya tidak sepenuhnya benar, tetapi tidak juga sepenuhnya salah.
-
Ada situasi di mana dua hal yang tampak bertentangan justru sama-sama membawa kebenaran.
Logika non-biner mencoba menangkap semua itu. Ia tidak memaksa dunia mengikuti pola hitam-putih. Ia memberi ruang bagi gradasi, ketidakpastian, dan kontradiksi yang muncul secara wajar dalam kehidupan.
Dengan cara ini, logika modern tidak memperlakukan ambiguitas sebagai kegagalan berpikir, tetapi sebagai bagian alami dari berpikir.
Filsafat Timur: ambiguitas sebagai kearifan
Jika logika modern membangun ambiguitas dengan rumus, banyak tradisi Timur justru merawat ambiguitas sebagai cara hidup.
Buddhisme
Nagarjuna, tokoh penting dalam Buddhisme, menunjukkan bahwa banyak konsep yang kita anggap jelas sebenarnya hanya bekerja pada level tertentu saja. Apa yang “benar” dalam pengalaman sehari-hari tidak selalu berlaku sebagai kebenaran tertinggi. Ada lapisan pemahaman yang berbeda, dan itu tidak masalah.
Daoisme
Laozi dan Zhuangzi sering menulis dengan bahasa paradoks. Bukan untuk membingungkan pembaca, tetapi untuk membuat kita melihat bahwa realitas bergerak, berubah, dan tidak bisa dipaksa menjadi definisi yang kaku. Dalam hidup, kelembutan bisa lebih kuat daripada kekerasan; diam bisa lebih berarti daripada bicara.
Baca Juga: Adab Terhadap Guru: Fondasi Kekuatan Spiritual, Intelektual, dan Moral Umat
Artikel Terkait
UIN Bandung Cetak Ahli Manajemen Haji & Umrah: Solusi Tepat untuk Jamaah Jawa Barat!
Larangan Hukuman Fisik di Sekolah Jabar Diteken, Sanksi Dialihkan ke Tugas Edukatif
Dari Hukuman ke Edukasi: Transformasi Sistem Disiplin di Sekolah Jabar
7 Universitas Terbaik di Bandung
Nasib Guru Honorer: Gaji Rp500 Ribu dan Janji Kesejahteraan di 2025
IPB University Puncaki Peringkat Kampus Terbaik Indonesia untuk Riset Interdisipliner Versi THE 2026
Adab Terhadap Guru: Fondasi Kekuatan Spiritual, Intelektual, dan Moral Umat
Pendidikan di Bandung Barat Masih Dilanda Krisis Infrastruktur Sekolah
Ketika Sekolah Tak Lagi Merdeka: Pendidikan Indonesia yang Tersandera Sistem
PENDIDIKAN INDONESIA: Krisis yang Tak Diakui, Masalah yang Tak Diselesaikan