Telaah Mengapa Manusia Takut Ambiguitas (Psikologi & Fenomenologi dalam bahasa yang hidup)

photo author
- Jumat, 5 Desember 2025 | 07:05 WIB
Telaah Mengapa Manusia Takut Ambiguitas  (Psikologi & Fenomenologi dalam bahasa yang hidup) (mcbsa)
Telaah Mengapa Manusia Takut Ambiguitas (Psikologi & Fenomenologi dalam bahasa yang hidup) (mcbsa)

PROJABAR.COM - Ada sesuatu yang selalu muncul ketika manusia berhadapan dengan ambiguitas kegelisahan kecil yang tidak punya nama. Bukan marah, bukan takut sepenuhnya, tapi seperti rasa goyah di dalam dada seolah pijakan yang biasanya tegas mendadak berubah menjadi tanah yang lunak.
Baca Juga: Ketika Sekolah Tak Lagi Merdeka: Pendidikan Indonesia yang Tersandera Sistem

Namun di balik keinginan itu, ada alasan yang lebih dalam.

1. Karena kepastian memberi rasa terlindungi

Sejak lama, manusia bertahan hidup dengan menebak cepat harimau atau bayangan? bahaya atau aman? Kita diwarisi naluri yang memaksa kita menutup pertanyaan secepat mungkin. Keraguan terlalu lama bisa berarti mati. Meskipun kita sekarang hidup di dunia yang tidak lagi dihuni harimau di semak-semak, naluri itu tetap bekerja. Ambiguitas membuat tubuh bereaksi napas menegang, pikiran ingin cepat memilih sisi.

Bukan karena kita bodoh melainkan karena otak kita dibentuk oleh jutaan tahun yang mencintai kepastian.

2. Karena tidak pasti artinya tidak berdaya

Ambiguitas sering terasa seperti ruang tanpa dinding. Kita tidak tahu di mana harus bersandar, atau apakah lantainya cukup kuat untuk menopang. Setiap kali kita tidak yakin, ada bisikan kecil yang muncul “Bagaimana kalau aku salah? Bagaimana kalau aku tidak tahu apa-apa?” Di banyak budaya, terutama yang menilai kepastian sebagai kedewasaan, mengakui ketidaktahuan terasa seperti mempermalukan diri.

Karena itulah banyak orang lebih memilih jawaban cepat, meskipun goyah, daripada mengakui bahwa mereka sedang berada dalam wilayah yang belum jelas.

3. Karena ambiguitas mengguncang identitas sosial

Dalam percakapan sehari-hari, terutama dalam lingkup agama atau moral, ambiguitas sering disalahartikan sebagai ancaman. Pertanyaan dianggap pemberontakan. Keraguan dianggap gangguan.

Padahal yang terjadi sederhana: saat seseorang mengajukan pertanyaan yang belum punya jawaban pasti, struktur sosial ikut tergetar. Orang merasa diajak melepas pegangan yang sudah lama mereka percaya. Bukan hanya soal gagasan kadang itu menyentuh rasa aman mereka sebagai anggota kelompok.

Karena itu, respons yang muncul sering keras “Jangan terlalu kritis”, “Tidak usah berpikir sejauh itu”, “Yakin saja sudah cukup.
Bukan karena pertanyaannya salah, tetapi karena mereka takut ruang berpikir terbuka bisa mengoyak aturan yang selama ini menjaga mereka tetap seragam.

4. Karena ambiguitas menyentuh lapisan terdalam dari menjadi manusia

Fenomenologi mengajarkan bahwa setiap kita hidup di dalam dunia yang “dapat dipahami”. Kita membaca dunia dengan pola yang membuat segala sesuatu terlihat masuk akal. Tetapi begitu ambiguitas muncul, pola itu retak. Kita tidak lagi mudah memaknai apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami.

Rasa asing itu bisa membuat manusia merasa tercerabut dari tempat berpijak. Mirip saat berjalan di gelap  kita tahu lantai ada, tapi tetap meraba-raba dengan hati-hati. Ambiguitas adalah gelap yang lembut tidak berbahaya, tetapi membuat kita sadar bahwa kita rapuh.

5. Padahal ambiguitas juga sumber kemungkinan

Di balik rasa tidak nyaman itu, ambiguitas adalah ruang yang kaya. Di sanalah gagasan baru lahir, di sanalah kritik muncul, dan di sanalah manusia bisa tumbuh melampaui batas-batas fikirannya sendiri.

Orang-orang yang berani berada di tengah-tengah ketidakjelasan bukan karena mereka suka rumit, tetapi karena mereka tahu hidup tidak hidup jika semua jawabannya tinggal mengulang. Pemuda yang mengajukan pertanyaan sering dibilang “kebablasan”, padahal mereka sedang membuka jendela dunia yang lebih besar.

Ambiguitas bukan hantu yang harus diusir. Ia lebih mirip tamu yang tidak nyaman tapi jika kita sanggup duduk bersamanya, ada banyak hal tentang diri sendiri yang mulai terlihat.
Baca Juga: PENDIDIKAN INDONESIA: Krisis yang Tak Diakui, Masalah yang Tak Diselesaikan

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

7 Universitas Terbaik di Bandung

Sabtu, 15 November 2025 | 12:15 WIB
X