PROJABAR.COM - Ada sesuatu yang selalu muncul ketika manusia berhadapan dengan ambiguitas kegelisahan kecil yang tidak punya nama. Bukan marah, bukan takut sepenuhnya, tapi seperti rasa goyah di dalam dada seolah pijakan yang biasanya tegas mendadak berubah menjadi tanah yang lunak.
Baca Juga: Ketika Sekolah Tak Lagi Merdeka: Pendidikan Indonesia yang Tersandera Sistem
Namun di balik keinginan itu, ada alasan yang lebih dalam.
1. Karena kepastian memberi rasa terlindungi
Sejak lama, manusia bertahan hidup dengan menebak cepat harimau atau bayangan? bahaya atau aman? Kita diwarisi naluri yang memaksa kita menutup pertanyaan secepat mungkin. Keraguan terlalu lama bisa berarti mati. Meskipun kita sekarang hidup di dunia yang tidak lagi dihuni harimau di semak-semak, naluri itu tetap bekerja. Ambiguitas membuat tubuh bereaksi napas menegang, pikiran ingin cepat memilih sisi.
Bukan karena kita bodoh melainkan karena otak kita dibentuk oleh jutaan tahun yang mencintai kepastian.
2. Karena tidak pasti artinya tidak berdaya
Ambiguitas sering terasa seperti ruang tanpa dinding. Kita tidak tahu di mana harus bersandar, atau apakah lantainya cukup kuat untuk menopang. Setiap kali kita tidak yakin, ada bisikan kecil yang muncul “Bagaimana kalau aku salah? Bagaimana kalau aku tidak tahu apa-apa?” Di banyak budaya, terutama yang menilai kepastian sebagai kedewasaan, mengakui ketidaktahuan terasa seperti mempermalukan diri.
Karena itulah banyak orang lebih memilih jawaban cepat, meskipun goyah, daripada mengakui bahwa mereka sedang berada dalam wilayah yang belum jelas.
3. Karena ambiguitas mengguncang identitas sosial
Dalam percakapan sehari-hari, terutama dalam lingkup agama atau moral, ambiguitas sering disalahartikan sebagai ancaman. Pertanyaan dianggap pemberontakan. Keraguan dianggap gangguan.
Padahal yang terjadi sederhana: saat seseorang mengajukan pertanyaan yang belum punya jawaban pasti, struktur sosial ikut tergetar. Orang merasa diajak melepas pegangan yang sudah lama mereka percaya. Bukan hanya soal gagasan kadang itu menyentuh rasa aman mereka sebagai anggota kelompok.
Karena itu, respons yang muncul sering keras “Jangan terlalu kritis”, “Tidak usah berpikir sejauh itu”, “Yakin saja sudah cukup.”
Bukan karena pertanyaannya salah, tetapi karena mereka takut ruang berpikir terbuka bisa mengoyak aturan yang selama ini menjaga mereka tetap seragam.
4. Karena ambiguitas menyentuh lapisan terdalam dari menjadi manusia
Fenomenologi mengajarkan bahwa setiap kita hidup di dalam dunia yang “dapat dipahami”. Kita membaca dunia dengan pola yang membuat segala sesuatu terlihat masuk akal. Tetapi begitu ambiguitas muncul, pola itu retak. Kita tidak lagi mudah memaknai apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami.
Rasa asing itu bisa membuat manusia merasa tercerabut dari tempat berpijak. Mirip saat berjalan di gelap kita tahu lantai ada, tapi tetap meraba-raba dengan hati-hati. Ambiguitas adalah gelap yang lembut tidak berbahaya, tetapi membuat kita sadar bahwa kita rapuh.
5. Padahal ambiguitas juga sumber kemungkinan
Di balik rasa tidak nyaman itu, ambiguitas adalah ruang yang kaya. Di sanalah gagasan baru lahir, di sanalah kritik muncul, dan di sanalah manusia bisa tumbuh melampaui batas-batas fikirannya sendiri.
Orang-orang yang berani berada di tengah-tengah ketidakjelasan bukan karena mereka suka rumit, tetapi karena mereka tahu hidup tidak hidup jika semua jawabannya tinggal mengulang. Pemuda yang mengajukan pertanyaan sering dibilang “kebablasan”, padahal mereka sedang membuka jendela dunia yang lebih besar.
Ambiguitas bukan hantu yang harus diusir. Ia lebih mirip tamu yang tidak nyaman tapi jika kita sanggup duduk bersamanya, ada banyak hal tentang diri sendiri yang mulai terlihat.
Baca Juga: PENDIDIKAN INDONESIA: Krisis yang Tak Diakui, Masalah yang Tak Diselesaikan
Artikel Terkait
UIN Bandung Cetak Ahli Manajemen Haji & Umrah: Solusi Tepat untuk Jamaah Jawa Barat!
Larangan Hukuman Fisik di Sekolah Jabar Diteken, Sanksi Dialihkan ke Tugas Edukatif
Dari Hukuman ke Edukasi: Transformasi Sistem Disiplin di Sekolah Jabar
7 Universitas Terbaik di Bandung
Nasib Guru Honorer: Gaji Rp500 Ribu dan Janji Kesejahteraan di 2025
IPB University Puncaki Peringkat Kampus Terbaik Indonesia untuk Riset Interdisipliner Versi THE 2026
Adab Terhadap Guru: Fondasi Kekuatan Spiritual, Intelektual, dan Moral Umat
Pendidikan di Bandung Barat Masih Dilanda Krisis Infrastruktur Sekolah
Ketika Sekolah Tak Lagi Merdeka: Pendidikan Indonesia yang Tersandera Sistem
PENDIDIKAN INDONESIA: Krisis yang Tak Diakui, Masalah yang Tak Diselesaikan