Di balik tembok-tembok sederhana pesantren, jauh dari sorot kamera dan sorak panggung kehormatan, ada sebuah jihad yang berlangsung setiap hari dalam sunyi: jihad para guru pesantren. Mereka mengajar bukan untuk popularitas, bukan pula untuk kemewahan hidup. Mereka mengajar karena keyakinan bahwa mendidik adalah ibadah, dan menyiapkan generasi adalah bagian dari perjuangan suci umat.
Guru pesantren sejatinya adalah mujahid peradaban. Jihad mereka bukan dengan senjata, tetapi dengan ilmu, kesabaran, keteladanan, dan pengorbanan. Di saat sebagian profesi diukur dengan nominal gaji dan jenjang karier, guru pesantren justru sering bekerja dalam keterbatasan, dengan fasilitas seadanya, bahkan kadang dengan penghasilan yang nyaris tak mencukupi kebutuhan dasar. Namun dari tangan merekalah lahir para dai, guru, ulama, pemimpin umat, dan penjaga moral bangsa.
Baca Juga: Pendidikan Indonesia: Siapa yang Diuntungkan Dari Sistem Pendidikan Kita
Keikhlasan guru pesantren bukan sekadar slogan. Ia teruji dalam realitas: mengajar sejak subuh hingga malam, mendampingi santri di luar kelas, menjadi orang tua kedua, sekaligus teladan akhlak. Mereka tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi menanamkan adab, menumbuhkan iman, dan membentuk karakter. Dalam terminologi Islam, inilah bentuk jihad yang panjang, melelahkan, namun paling menentukan arah peradaban.
Namun di titik inilah kritik harus disuarakan dengan jujur. Di tengah maraknya komersialisasi pendidikan, branding lembaga, dan perlombaan fasilitas, keikhlasan guru pesantren justru berisiko menjadi “modal yang dieksploitasi”. Ada pesantren yang megah, biaya mahal, namun kesejahteraan gurunya stagnan. Ada lembaga yang menjual citra religius, tetapi mengabaikan keadilan bagi para pendidiknya. Keikhlasan akhirnya dijadikan alasan untuk menormalisasi ketimpangan.
Kita harus berani mengatakan: ikhlas bukan berarti rela dizalimi. Jihad bukan berarti menutup mata dari hak. Guru pesantren memang mendidik karena Allah, tetapi mereka juga manusia yang punya keluarga, kebutuhan hidup, dan masa depan. Jika pesantren ingin melahirkan generasi yang kuat, maka guru-gurunya lebih dulu harus dimuliakan secara layak, bukan hanya dengan pujian moral, tetapi juga dengan sistem kesejahteraan yang adil dan berkelanjutan.
Di sisi lain, tantangan guru pesantren hari ini jauh lebih berat dibanding masa lalu. Mereka tidak hanya berhadapan dengan santri di ruang kelas, tetapi juga dengan gempuran ideologi digital, krisis keteladanan, pergeseran nilai, hingga budaya instan yang menggerus adab. Guru pesantren dipaksa menjadi pendidik, konselor, benteng moral, sekaligus penjaga akidah dalam satu waktu. Ini bukan tugas ringan, bahkan bisa disebut medan jihad paling kompleks dalam dunia modern.
Ironisnya, di tengah beban besar itu, posisi guru pesantren masih sering dipinggirkan dalam kebijakan pendidikan nasional. Pesantren diakui, santri diperhatikan, tetapi guru pesantren kerap tertinggal dalam jaminan profesional, pelatihan berkelanjutan, dan perlindungan sosial. Padahal, kualitas pesantren sangat ditentukan oleh kualitas dan keberdayaan gurunya.
Keikhlasan guru pesantren adalah harta yang tak ternilai. Ia adalah bahan bakar utama peradaban umat. Tetapi jika keikhlasan ini terus dibiarkan berjalan sendiri tanpa keadilan sistem, maka yang kita wariskan bukan ketangguhan, melainkan kepiluan yang diwariskan turun-temurun.
Sudah saatnya kita membangun kesadaran kolektif: memuliakan pesantren tidak cukup dengan membangun gedung dan program unggulan. Memuliakan pesantren berarti memuliakan gurunya. Memberi ruang tumbuh bagi mereka untuk sejahtera secara bermartabat, berkembang secara intelektual, dan kuat secara spiritual.
Jika hari ini pesantren masih berdiri tegak di tengah badai zaman, itu bukan karena temboknya, bukan karena kurikulumnya, melainkan karena ada guru-guru ikhlas yang berjihad dalam sunyi. Mereka mungkin tidak dikenal publik, tetapi merekalah pilar yang menyangga masa depan umat. Dan sebuah peradaban yang mengabaikan gurunya, sejatinya sedang menyiapkan kehancurannya sendiri.
Artikel Terkait
IFG dan Anggota Holding Salurkan Bantuan Pendidikan bagi Anak Prajurit TNI AD
Bahasa Portugis Masuk Kurikulum Nasional, Tanda Era Baru Diplomasi Pendidikan Indonesia
Rotasi Kepala Sekolah Sesuai Domisili: Solusi Atasi Kelelahan dan Tingkatkan Kualitas Pendidikan Jabar
UIN Bandung Kampus 2 Cibiru: Masa Depan Pendidikan Islam Jawa Barat Ada di Sini!
Rahmah El Yunusiyah Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional, Dedikasi untuk Pendidikan Perempuan Diakui Negara
Bandung Barat Miris Membaca: Minat Baca Rendah, Tantangan Pendidikan Semakin Kompleks
Pendidikan di Bandung Barat Masih Dilanda Krisis Infrastruktur Sekolah
Ketika Sekolah Tak Lagi Merdeka: Pendidikan Indonesia yang Tersandera Sistem
PENDIDIKAN INDONESIA: Krisis yang Tak Diakui, Masalah yang Tak Diselesaikan
Pendidikan Indonesia: Siapa yang Diuntungkan Dari Sistem Pendidikan Kita