PROJABAR.COM - Sejak lama manusia memuja kepastian. Kita merasa tenang ketika sebuah jawaban dinyatakan final, ketika sebuah aturan dianggap mutlak, atau ketika suatu pernyataan dilekatkan pada label “benar”. Namun dalam sejarah gagasan, kepastian justru selalu berada di posisi rapuh. Ia tampak kukuh dari luar, tetapi guncang ketika disentuh sedikit saja oleh pertanyaan mendasar mengapa kita menganggapnya pasti?.
Telaah ini tidak bertujuan mengganti kepastian dengan relativisme total, melainkan menunjukkan bahwa apa yang sering dianggap “mutlak” sebenarnya adalah konstruksi psikologis dan sosial, bukan fondasi pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, kepastian adalah ilusi yang lahir dari kebutuhan emosional manusia, bukan hasil akhir dari proses epistemik.
Baca Juga: IPB University Puncaki Peringkat Kampus Terbaik Indonesia untuk Riset Interdisipliner Versi THE 2026
1. Kepastian sebagai Produk Psikologis, Bukan Pengetahuan
Secara psikologis, manusia memiliki kebutuhan yang sangat kuat untuk menutup pertanyaan. Ketidakpastian membuat kita tidak nyaman. Kita ingin dunia sederhana A selalu benar, B selalu salah. Pola jelas ini menciptakan rasa aman.
Namun rasa aman bukan bukti kebenaran.
Kepastian yang muncul dari kebutuhan emosional tidak berbeda dari seseorang yang menyalakan lampu bukan karena ruangan terang, melainkan karena takut gelap. Lampu memberi kenyamanan, tetapi tidak memberi penjelasan apa pun tentang isi ruangan.
Dalam epistemologi, kenyamanan mental tidak memiliki nilai kognitif. Ia tidak menjelaskan apa pun tentang realitas.
2. Kepastian sebagai Warisan Kebiasaan Sosial
Apa yang kita sebut “kepastian” sering kali hanyalah hasil standar sosial yang diwariskan turun-temurun. Masyarakat membutuhkan aturan yang stabil agar dapat bertahan, dan stabilitas itu lebih mudah dicapai dengan membuat kategori tajam halal-haram, benar-salah, boleh-tidak boleh.
Akan tetapi, stabilitas sosial tidak identik dengan kebenaran epistemik.
Banyak aturan dianggap mutlak bukan karena argumennya kokoh, tetapi karena leluhur sudah melakukannya. Tradisi memberikan legitimasi, bukan bukti. Ketika tradisi dianggap tidak boleh ditanya, kepastian berubah menjadi mekanisme pelestarian kekuasaan, bukan alat pencari kebenaran.
Dalam istilah lain:
Kepastian sosial sering bekerja sebagai pagar, bukan sebagai alasan.
3. Masalah Utama Kepastian: Ia Menghentikan Pencarian
Dalam filsafat ilmu, pengetahuan berkembang justru karena tidak ada kepastian final. Sains modern lahir karena klaim-klaim sebelumnya dianggap perlu diuji kembali.
Begitu sebuah ide dinyatakan “pasti”, proses epistemik berhenti. Tidak ada ruang untuk menguji, menantang, atau memperbaiki. Inilah yang disebut oleh Karl Popper sebagai bahaya dogmatisme: sistem yang menganggap dirinya selesai berhenti menjadi ilmu.
Kepastian yang tidak boleh disentuh berperilaku seperti air yang membeku stabil, tetapi tidak bisa lagi mengalir.
Baca Juga: Nasib Guru Honorer: Gaji Rp500 Ribu dan Janji Kesejahteraan di 2025
Artikel Terkait
UIN Bandung Cetak Ahli Manajemen Haji & Umrah: Solusi Tepat untuk Jamaah Jawa Barat!
Larangan Hukuman Fisik di Sekolah Jabar Diteken, Sanksi Dialihkan ke Tugas Edukatif
Dari Hukuman ke Edukasi: Transformasi Sistem Disiplin di Sekolah Jabar
7 Universitas Terbaik di Bandung
Nasib Guru Honorer: Gaji Rp500 Ribu dan Janji Kesejahteraan di 2025
IPB University Puncaki Peringkat Kampus Terbaik Indonesia untuk Riset Interdisipliner Versi THE 2026
Adab Terhadap Guru: Fondasi Kekuatan Spiritual, Intelektual, dan Moral Umat
Pendidikan di Bandung Barat Masih Dilanda Krisis Infrastruktur Sekolah
Ketika Sekolah Tak Lagi Merdeka: Pendidikan Indonesia yang Tersandera Sistem
PENDIDIKAN INDONESIA: Krisis yang Tak Diakui, Masalah yang Tak Diselesaikan