Rekaman untuk Adzan: Antara Efisiensi Teknologi dan Penyimpangan Syariat

photo author
- Jumat, 21 November 2025 | 04:55 WIB
Masjid Istiqlal dan Kemayoran (Wikipedia)
Masjid Istiqlal dan Kemayoran (Wikipedia)

PROJABAR.COM - Di era digital, muncul gagasan menggunakan rekaman suara untuk menggantikan adzan langsung. Alasannya, suara lebih merdu dan praktis. Namun, praktik ini justru menuai kritik tajam dari ulama. Mengapa?

Baca Juga: Berkah Ramadhan 1447 H: Estimasi Jadwal Puasa 2026 untuk Warga Jawa Barat

Apa Masalahnya?

Masalah utamanya adalah mengganti muadzin dengan kaset atau file audio. Rekaman diputar sebagai adzan di masjid dan musala. Padahal, adzan adalah ibadah khusus.

Majelis Majma’ Fiqih Islami (1986) dan Lajnah Daimah Arab Saudi tegas menyatakan adzan rekaman tidak sah. Keputusan ini berdasarkan pemahaman mendalam tentang syariat.

Alasan Penolakan

  1. Hilangnya Unsur Niat dan Ibadah
    Adzan adalah ibadah yang membutuhkan niat. Rekaman adalah benda mati, tak berniat. Ibnu Qudamah menegaskan, adzan adalah ibadah badan, seperti shalat. Ia tak boleh diwakilkan pada mesin.

  2. Menyimpang dari Tradisi Islam
    Sejak zaman Nabi, adzan selalu dikumandangkan langsung. Rekaman dianggap bid'ah (inovasi baru dalam ibadah) yang menyimpang.

  3. Rentan Kekeliruan dan Kelalaian
    Bagaimana jika rekaman adzan Shubuh terputar saat Dzuhur? Praktis, masjid bisa kehilangan tradisi memiliki muadzin. Pahala adzan bagi masyarakat setempat pun hilang.

Siapa yang Melarang?

Fatwa ini datang dari lembaga fiqih terkemuka dunia Islam. Seperti Majma’ Fiqih Islami di Makkah dan Lajnah Daimah Arab Saudi. Anggotanya adalah ulama besar seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz.

Keputusan mereka menjadi rujukan universal umat Islam, termasuk Indonesia.

Lalu, Bagaimana dengan Toa Masjid?

Teknologi pengeras suara boleh selama digunakan benar. Fungsinya sebagai alat bantu suara muadzin yang sedang adzan langsung, bukan memutar rekaman.

Di Indonesia, aturannya jelas melalui Surat Edaran Menag Nomor 05 Tahun 2022. Volume dibatasi maksimal 100 dB. Durasi tarhim (pengantar adzan) hanya 5-10 menit.

Kesimpulan: Jangan Tukar Esensi dengan Kepraktisan

Adzan rekaman memang terdengar lebih merdu. Namun, keindahan lahiriah tidak boleh mengorbankan keabsahan ibadah. Esensi adzan sebagai seruan hidup dari muadzin yang berniat, tak tergantikan oleh rekaman.

Mari tingkatkan kualitas muadzin dan bijak menggunakan pengeras suara. Bukan untuk mengganti, tapi memperkuat syiar.

Baca Juga: Agama di Tangan Kapitalis: Ketika Spiritualitas Dijadikan Komoditas

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X