PROJABABAR.COM - Tafsir tematik (maudhu'i) kerap dijual sebagai solusi instan bagi generasi muda yang haus akan relevansi Al-Qur'an. Namun, di balik topeng "kontekstual" dan "aplikatif"-nya, tersembunyi pertanyaan kritis apakah metode ini benar-benar membebaskan, atau sekadar menciptakan romantisme baru yang tetap dikendalikan oleh kepentingan dan wacana dominan?
Klaim utama tafsir tematik adalah objektivitasnya dalam menghimpun semua ayat tentang satu topik. Ini adalah ilusi. Proses pemilihan topik itu sendiri sudah merupakan tindakan subjektif dan politis.
Baca Juga: Belajar Adab Islami: Menjaga Hubungan Baik dengan Saudara, Teman, dan Tetangga
Mengapa Kemenag memilih tema "Kedudukan Perempuan" atau "Ekonomi Umat", dan bukan, misalnya, "Kritik Al-Qur'an Terhadap Kekuasaan yang Otoriter" atau "Keadilan Sosial yang Radikal"? Pemilihan tema bukanlah tindakan netral, melainkan cerminan dari agenda dan apa yang dianggap "aman" untuk ditafsirkan ulang. Hegemoni negara dan otoritas keagamaan masih mencengkeram kuat dalam menentukan wacana mana yang layak dikonsumsi publik.
Metodologi "baku" yang dikutip dari Bilal Philips pun patut dipertanyakan. Rangkaian langkah yang terkesan rapi itu seringkali mengabaikan realitas bahwa setiap mufasir membawa "bekal" ideologisnya masing-masing.
Seorang mufasir konservatif yang menghimpun ayat-ayat tentang perempuan akan sampai pada kesimpulan yang sangat berbeda dengan seorang mufasir feminis, meski menggunakan ayat-ayat yang sama persis. Klaim "kembali kepada pemahaman salaf" seringkali hanya kedok untuk melestarikan patriarki dan struktur status quo dengan memberi cap "ilahi".
Pendekatan kontekstual yang diusung para pemikir seperti Dawam Rahardjo, meski terlihat progresif, juga mengandung jebakannya sendiri. Dalam upaya membuat Al-Qur'an "relevan", ada risiko mereduksi pesan transendensinya menjadi sekadar alat problem-solving duniawi.
Baca Juga: Kerja Keras dalam Islam: Wujud Tawakal dan Tanggung Jawab
Ketika ayat tentang sabar dan syukur hanya dikerangkai untuk mengatasi anxiety demi produktivitas kerja kapitalistik, bukankah kita telah menjadikan Al-Qur'an sebagai pembantu bagi ideologi neoliberal? Al-Qur'an direduksi menjadi "life hack" atau self-help book, kehilangan daya kritiknya terhadap sistem yang tidak adil yang justru menjadi akar dari banyak masalah mental generasi muda.
Lebih parah lagi, tafsir tematik yang ditujukan untuk anak muda seringkali terjebak dalam pendekatan yang simplistis dan apologetik. Alih-alih mendorong generasi muda untuk bergulat secara kritis dengan teks dan konteks, yang terjadi adalah penyederhanaan kompleksitas.
Ayat-ayat "dibuat pas" dengan isu kekinian tanpa mengajak pembaca muda untuk memahami sejarah turunnya ayat (asbabun nuzul), konteks linguistik yang kompleks, dan perdebatan hermeneutika yang tak terhindarkan. Hasilnya adalah "Islam instan" yang mematikan nalar kritis.
Lantas, adakah jalan keluar?
Tafsir tematik tidak harus dibuang, tetapi pendekatannya harus diradikalkan. Ia harus menjadi alat untuk membongkar, bukan mengukuhkan. Generasi muda perlu didorong untuk tidak hanya menjadi konsumen pasif dari tafsir yang disuapkan otoritas, tetapi menjadi produsen penafsiran yang kritis.
Ini berarti mengakui subjektivitas, mempertanyakan motif di balik setiap penafsiran, dan berani membaca Al-Qur'an bukan sebagai pembenar bagi kehidupan yang sudah ada, melainkan sebagai pengkritik dan pembentuk kehidupan yang seharusnya. Tugas tafsir tematik yang sejati adalah memberdayakan, bukan sekadar menghibur.
Baca Juga: Kreatif dan Inovatif: Ciri Generasi Muslim yang Cerdas dan Visioner
Artikel Terkait
Nabi Isa AS: Mukjizat Kelahiran dan Dakwah Kasih Sayang
Nabi Muhammad SAW: Penutup Para Nabi dan Cahaya Terakhir bagi Umat Manusia
Hikmah dan Pesan Universal dari Kisah 25 Nabi dan Rasul dalam Islam
Pentingnya Ketaatan kepada Rasulullah: Bukan Sekadar Iman, tapi Jalan Hidup
Ijtihad: Ketika Usaha Tulus Dihargai, Meskipun Hasilnya Keliru
Bukti Cinta kepada Allah: Dari Klaim Menjadi Kenyataan
Bermaksiat dengan Alasan Takdir - Mengapa Alasan Ini Keliru?
Menyoal Legitimasi Salat Hajat: Antara Tradisi Religius dan Keabsahan Dalil
Malu dan Sombong, Dua Penghalang Ilmu: Telaah Mendalam Hadits Imam Al-Bukhari
Kita Tak Akan Lama dan Dunia Hanya Fana: Zuhudi jadi Solusi Sebelum Mati!