PROJABAR.COM – Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menyaksikan fenomena menarik dalam kehidupan beragama, khususnya Islam, dengan maraknya pengajian-pengajian yang dikemas secara modern dan munculnya figur-figur 'Gus' sebagai penceramah. Namun, banyak pengamat yang mempertanyakan apakah fenomena ini masih berada dalam koridor agama atau telah bergeser menjadi tren sosial semata.
Dr. Ahmad Nurcholish, pengamat sosial keagamaan dari UIN Jakarta, menyoroti perubahan orientasi dalam banyak pengajian modern. "Banyak pengajian kini lebih menekankan pada hiburan dan gaya hidup ketimbang pendalaman spiritual. Materi yang disampaikan seringkali ringan, menghibur, namun minim substansi keagamaan yang mendalam," ujarnya.
Baca Juga: Tafsir Tematik untuk Generasi Muda: Pembebasan atau Hanya Romantisme Baru?
Fenomena figur 'Gus' juga menjadi perhatian. Sebutan yang semula merujuk pada keturunan kiai besar ini kini kerap digunakan sebagai brand untuk membangun popularitas. Banyak kalangan muda yang menggunakan gelar 'Gus' meski tidak memiliki latar belakang pesantren yang mumpuni, hanya untuk meningkatkan daya tarik sebagai public speaker.
Dalam observasi di beberapa pengajian besar di Jawa Barat, terlihat jelas pergeseran nilai. "Pengajian yang seharusnya menjadi media pendalaman agama, justru berubah menjadi ajang pamer fashion, gadget, dan lifestyle. Jamaah datang lebih untuk melihat selebritas dan tren terbaru daripada mencari ilmu," tutur Siti Aisyah, peneliti budaya dari Unpad.
Banyak pengajian kini dikemas seperti konser musik dengan tiket berharga mahal. Pembicara diukur dari popularitas media sosialnya, bukan kedalaman ilmunya. Materi ceramah pun disesuaikan dengan selera pasar - ringan, menghibur, dan tidak banyak mengkritisi realitas sosial.
Baca Juga: Merancang Masa Depan Karier dengan Inspirasi Al-Qur'an: Bekerja adalah Ibadah
Psikolog sosial, Dr. Rina Hermawati, M.Si., melihat fenomena ini sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat urban akan hiburan yang dikemas dalam bingkai religius. "Ada semacam pembenaran psikologis - merasa beragama tanpa harus melalui proses yang berat. Pengajian model ini menjawab kebutuhan itu," jelasnya.
Namun, tidak semua pihak memandang negatif perkembangan ini. Ustaz Haikal, salah satu penceramah muda, membela, "Pendekatan yang lebih modern diperlukan untuk menarik generasi muda. Yang penting, nilai-nilai dasar agama tetap tersampaikan."
Beberapa pesantren tradisional justru khawatir dengan fenomena ini. Menurut K.H. Abdul Malik dari Pondok Pesantren Al-Falah, Bandung, "Agama menjadi komoditas. Ilmu dijual murah untuk popularitas. Ini berbahaya untuk jangka panjang."
Baca Juga: Al-Qur'an dan Kesehatan Mental Generasi Muda: Menemukan Ketengan di Tengah Gempuran Zaman
Fenomena ini juga memunculkan komersialisasi agama. Mulai dari jasa penceramah dengan tarif puluhan juta, merchandise bernuansa islami, hingga paket wisata religi yang lebih menekankan pada fasilitas mewah daripada nilai spiritual.
Masyarakat pun terbelah. Sebagian menerima sebagai bentuk modernisasi dakwah, sementara yang lain mengkritisinya sebagai penyimpangan dari esensi beragama yang seharusnya.
Ikuti terus kabar terbaru seputar Jawa Barat hanya di Projabar.com, portal berita yang menyajikan informasi cepat, akurat, dan terpercaya.***
Artikel Terkait
Pentingnya Ketaatan kepada Rasulullah: Bukan Sekadar Iman, tapi Jalan Hidup
Bukti Cinta kepada Allah: Dari Klaim Menjadi Kenyataan
Bermaksiat dengan Alasan Takdir - Mengapa Alasan Ini Keliru?
Menyoal Legitimasi Salat Hajat: Antara Tradisi Religius dan Keabsahan Dalil
Malu dan Sombong, Dua Penghalang Ilmu: Telaah Mendalam Hadits Imam Al-Bukhari
Kita Tak Akan Lama dan Dunia Hanya Fana: Zuhudi jadi Solusi Sebelum Mati!
Al-Qur'an dan Kesehatan Mental Generasi Muda: Menemukan Ketengan di Tengah Gempuran Zaman
Membingkai Cinta yang Bermartabat: Tafsir Tematik Al-Qur'an untuk Generasi Muda
Merancang Masa Depan Karier dengan Inspirasi Al-Qur'an: Bekerja adalah Ibadah
Tafsir Tematik untuk Generasi Muda: Pembebasan atau Hanya Romantisme Baru?