Agama di Tangan Kapitalis: Ketika Spiritualitas Dijadikan Komoditas

photo author
- Senin, 10 November 2025 | 21:20 WIB
Ilustrasi agama islam (pexels/Meruyert Gonullu)
Ilustrasi agama islam (pexels/Meruyert Gonullu)

PROJABAR.COM – Dalam beberapa dekade terakhir, agama-agama besar di Indonesia mengalami transformasi paradoksal. Di satu sisi, jumlah jamaah dan rumah ibadah meningkat pesat. Di sisi lain, nilai-nilai spiritualitas justru tergerus oleh logika kapitalisme yang menyusup ke dalam setiap aspek keberagamaan.

"Kita sedang menyaksikan matinya spiritualitas dan lahirnya agama sebagai industri," ujar Dr. Faisal Basri, sosiolog agama dari UIN Bandung. "Masjid, gereja, pura, dan vihara perlahan berubah menjadi pusat perbelanjaan yang menjual 'produk' keselamatan."

Fenomena ini terlihat jelas dalam maraknya "paket umrah plus tur Eropa", "retret eksklusif dengan fasilitas bintang lima", hingga "pengajian premium" dengan tiket jutaan rupiah. Agama tidak lagi menjadi jalan pencarian makna, melainkan komoditas yang diperjualbelikan.

Baca Juga: Tafsir Tematik untuk Generasi Muda: Pembebasan atau Hanya Romantisme Baru?

Bahkan konsep sedekah pun tidak luput dari kapitalisasi. "Sekarang ada sedekah online dengan janji balasan berlipat ganda. Ini jelas mendistorsi makna ikhlas dalam beramal," kritik KH. Abdul Somad, pengasuh pesantren di Bogor.

Data Kementerian Agama menunjukkan pertumbuhan ekonomi syariah mencapai 15% per tahun, namun di saat yang sama, laporan BPS mencatat peningkatan kesenjangan sosial dan intoleransi. "Ini paradoks yang memilukan. Semakin 'syariah' ekonomi kita, semakin tidak syariah perilaku sosial kita," tambah Dr. Basri.

Psikolog agama, Dr. Siti Aisyah, M.Psi., mengamati dampak psikologis dari komodifikasi agama. "Masyarakat mengalami spiritual anxiety. Mereka berlomba menunjukkan kesalehan melalui simbol-simbol materi, namun dalam diam, banyak yang merasa hampa dan kehilangan makna sejati dari beragama."

Di media sosial, fenomena ini semakin menjadi. "Influencer religi" dengan followers jutaan mempromosikan gaya hidup "islami" yang konsumtif. Mulai dari hijab branded, mukena desainer, hingga Al-Qur'an berlapis emas dengan harga selangit.

Baca Juga: Merancang Masa Depan Karier dengan Inspirasi Al-Qur'an: Bekerja adalah Ibadah

"Agama telah menjadi alat legitimasi untuk kapitalisme. Doa-doa dijadikan mantra untuk kesuksesan duniawi, sedekah dianggap sebagai investasi, dan ibadah menjadi ajang pamer status," kritik Rocky Gerung, filsuf UI.

Namun, tidak semua pihak diam. Gerakan-gerakan keagamaan alternatif mulai bermunculan. Komunitas Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, misalnya, konsisten menolak komersialisasi dengan mempertahankan tradisi sedekah tanpa pencatatan dan pengelolaan dana yang transparan.

"Kami ingin mengembalikan agama pada khittahnya sebagai pembebas, bukan sebagai komoditas," tegas Ustaz Luthfi, pengurus masjid tersebut.

Pakar ekonomi syariah, Prof. Dr. M. Amin Suma, mengingatkan bahaya kapitalisme religi. "Jika agama sudah menjadi komoditas, maka yang tersisa hanyalah kulit tanpa isi. Ritual tanpa makna, simbol tanpa substansi."

Baca Juga: Membingkai Cinta yang Bermartabat: Tafsir Tematik Al-Qur'an untuk Generasi Muda

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Al Dira Achmad Arrazib

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X