Menyoal Legitimasi Salat Hajat: Antara Tradisi Religius dan Keabsahan Dalil

photo author
- Senin, 27 Oktober 2025 | 22:16 WIB
Menyoal Legitimasi Salat Hajat: Antara Tradisi Religius dan Keabsahan Dalil
Menyoal Legitimasi Salat Hajat: Antara Tradisi Religius dan Keabsahan Dalil

PROJABAR.COM – Salat hajat sering kali menjadi pilihan banyak umat Islam saat menghadapi kesulitan hidup. Dua rakaat yang dipenuhi doa dan harap ini dipercaya membawa ketenangan batin dan jalan keluar dari masalah. Namun, di kalangan ulama dan akademisi Islam, muncul perdebatan serius: apakah ibadah ini benar-benar diajarkan oleh Rasulullah ﷺ atau hanya praktik yang berkembang dari hadis lemah?

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, Rasulullah ﷺ disebut bersabda: “Barang siapa yang memiliki kebutuhan kepada Allah atau manusia, hendaklah ia berwudu dengan baik, lalu salat dua rakaat...” kemudian membaca doa panjang memohon hajatnya. Sayangnya, para ahli hadis seperti Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in menilai hadis ini berstatus dhaif (lemah) karena ada perawi yang tidak terpercaya. Dengan demikian, salat hajat tidak memiliki landasan kuat sebagai ibadah khusus.

Baca Juga: Bermaksiat dengan Alasan Takdir - Mengapa Alasan Ini Keliru?

Kendati demikian, semangat di baliknya tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan, “Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu” (QS. Al-Baqarah: 45). Begitu pula Nabi ﷺ dikenal selalu melakukan salat dua rakaat setiap kali menghadapi urusan penting (HR. Abu Dawud).
Artinya, salat sebagai sarana doa dan permohonan tetap relevan, selama tidak dikaitkan dengan keyakinan keutamaan tertentu yang tidak memiliki dasar sahih.

Banyak ulama kontemporer menilai bahwa salat hajat bisa dilakukan sebagai salat sunnah mutlak, bukan ritual dengan tata cara baku atau doa khusus. Yang penting, niatnya tetap untuk memohon pertolongan kepada Allah dengan penuh ketundukan. Ini sejalan dengan prinsip Islam yang tidak membatasi bentuk ibadah sunnah selama tidak menyalahi nash yang sahih.

Baca Juga: Pentingnya Ketaatan kepada Rasulullah: Bukan Sekadar Iman, tapi Jalan Hidup

Dengan demikian, yang perlu ditekankan bukan pada nama “salat hajat”-nya, melainkan pada esensi spiritualnya salat sebagai jalan komunikasi antara hamba dan Tuhannya. Justru di sinilah letak keindahan Islam: fleksibilitas dalam ibadah, selama tujuannya mendekatkan diri kepada Allah tanpa menambah-nambahi syariat yang tidak diajarkan Rasulullah ﷺ.

Salat hajat boleh jadi tidak memiliki dalil kuat, tetapi semangatnya untuk berdoa, berserah diri, dan berharap hanya kepada Allah tetap menjadi nilai luhur yang patut dijaga.

Ikuti terus kabar terbaru seputar Jawa Barat hanya di Projabar.com, portal berita yang menyajikan informasi cepat, akurat, dan terpercaya.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Al Dira Achmad Arrazib

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X