Bermaksiat dengan Alasan Takdir - Mengapa Alasan Ini Keliru?

photo author
- Senin, 27 Oktober 2025 | 21:34 WIB
Lafadz Allah (mcbsa)
Lafadz Allah (mcbsa)

PROJABAR.COM - Dalam kehidupan beragama, seringkali muncul pertanyaan mendasar tentang bagaimana menyelaraskan keyakinan kepada takdir Allah dengan konsep tanggung jawab manusia atas perbuatannya. Tidak jarang, kita mendengar orang yang menggunakan dalih "sudah takdir" untuk membenarkan tindakan maksiat yang mereka lakukan. Pemahaman seperti ini tidak hanya keliru tetapi juga berbahaya, karena dapat menjerumuskan seseorang ke dalam lubang kemaksiatan yang terus-menerus tanpa merasa bersalah.

Artikel ini akan mengupas tuntas kesalahpahaman tentang penggunaan takdir sebagai pembenaran untuk bermaksiat, dengan merujuk kepada dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Hadits, serta penjelasan ulama yang otoritatif.

Baca Juga: Pentingnya Ketaatan kepada Rasulullah: Bukan Sekadar Iman, tapi Jalan Hidup

Hakikat Takdir dalam Islam

Keimanan kepada takdir Allah merupakan salah satu rukun iman yang wajib diyakini setiap muslim. Rasulullah SAW bersabda bahwa iman adalah "Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk." (HR. Muslim)

Namun, beriman kepada takdir tidak berarti meniadakan adanya kehendak dan pilihan bagi manusia. Setiap manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk memilih - antara jalan ketaatan atau kemaksiatan. Allah SWT berfirman:

"Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya." (QS. An-Naba': 39)

Dan juga firman-Nya:

"(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus." (QS. At-Takwir: 28)

Ayat-ayat ini secara gamblang menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak dan kemampuan, meski semuanya tetap berada di bawah kehendak Allah yang Maha Kuasa. Dengan kehendak itu, seseorang bisa memutuskan untuk berbuat baik atau buruk - dan setiap keputusan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Baca Juga: Ijtihad: Ketika Usaha Tulus Dihargai, Meskipun Hasilnya Keliru

Memahami Dua Macam Kehendak Allah

Salah satu kunci untuk memahami konsep takdir dengan benar adalah dengan membedakan antara dua jenis kehendak (iradah) Allah. Pemahaman ini penting untuk menjawab pertanyaan: "Jika segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, mengapa saya dihukum karena maksiat?"

1. Iradah Kauniyyah (Kehendak Kauni)

Iradah kauniyyah adalah segala sesuatu yang Allah kehendaki untuk terjadi, baik yang dicintai-Nya maupun yang dibenci-Nya. Segala peristiwa di alam semesta, termasuk perbuatan manusia, terjadi dengan izin kauni Allah. Contohnya: kekufuran, kemaksiatan, dan kezaliman - semuanya terjadi dengan izin (izin kauni) Allah, namun bukan berarti Allah ridha terhadapnya.

2. Iradah Syar'iyyah (Kehendak Syar'i)

Iradah syar'iyyah adalah kehendak Allah terhadap hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya, seperti iman, taqwa, dan amal saleh. Kehendak ini tercermin dalam syariat yang Allah turunkan kepada para rasul-Nya.

Dengan pemahaman ini, menjadi jelas bahwa tidak setiap yang Allah kehendaki (dalam makna kauni), Allah cintai. Allah berfirman:

Baca Juga: Bukti Cinta kepada Allah: Dari Klaim Menjadi Kenyataan

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X