PROJABAR.COM - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 59,15 poin atau 0,68% ke level 8.618,19 pada perdagangan Kamis, 18 Desember 2025. Pelemahan terjadi di tengah sentimen campur dari dalam dan luar negeri, meski sektor perbankan berhasil membatasi koreksi yang lebih dalam.
Pada sesi kedua, aktivitas perdagangan tercatat dengan nilai transaksi mencapai Rp 23,77 triliun. Sebanyak 411 saham terkoreksi, sementara 252 saham mengalami penguatan, dan 138 saham lainnya stagnan.
Baca Juga: Kebijakan Tarif AS Picu Banjir Impor, Industri Tekstil dan Furnitur Indonesia Tertekan
Sektor utilitas, konsumen non-primer, dan barang baku menjadi penyumbang koreksi terdalam. Di sisi lain, sektor finansial merupakan satu-satunya yang bertahan di zona hijau dan menjadi penopang utama IHSG hari ini.
Kinerja positif sektor finansial didorong oleh saham-saham perbankan besar. Bank Central Asia (BBCA) menguat 1,87% berkontribusi 14,15 poin, Bank Mandiri (BMRI) melonjak 2,49% menyumbang 10,41 poin, dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI) naik 0,8% memberi kontribusi 4,94 poin terhadap indeks.
Sebaliknya, saham-saham konglomerat menjadi beban. Saham BREN dan AMMN disebut sebagai kontributor pelemahan terbesar bagi IHSG pada perdagangan tersebut.
Sentimen dalam negeri datang dari keputusan Bank Indonesia (BI) yang pada hari yang sama mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate di level 4,75%. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan keputusan ini bersifat antisipatif dan berwawasan ke depan untuk menjaga stabilitas.
"Kebijakan ini ditempuh sebagai langkah antisipatif (pre-emptive) dan berwawasan ke depan (forward looking) untuk memastikan inflasi tetap terkendali pada sasaran 1,5%-3,5% pada tahun 2025 dan 2026," ujar Perry Warjiyo seperti dikutip dari siaran pers resmi BI.
Sementara itu, sentimen global yang ditunggu pasar adalah rilis data inflasi Amerika Serikat yang dijadwalkan pada Kamis malam waktu setempat. Data tersebut menjadi acuan bagi pergerakan pasar keuangan global.
Di sisi lain, upaya diplomasi dilakukan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Direktur Utama BEI melakukan lobi ke penyedia indeks global, MSCI, di New York mengenai aturan free float yang dinilai merugikan emiten Indonesia.
BEI menilai penerapan aturan MSCI tidak adil karena definisi kepemilikan publik (free float) di Indonesia lebih ketat, dengan batas kepemilikan 5% dibandingkan batas 10% di bursa lain. Negosiasi ini penting untuk mencegah potensi aliran keluar modal asing dari pasar Indonesia.
Baca Juga: Dari Raksasa Impor ke Pengekspor Potensial: Jejak Langkah Indonesia Capai Surplus Beras 4,7 Juta Ton
Artikel Terkait
Analis Bareksa Rekomendasikan ARTO, INKP, dan UNVR di Tengah Proyeksi IHSG Hijau
Sawit untuk Kedaulatan Energi: Prabowo Perkuat Komitmen Biofuel di Tengah Gejolak Global
Pertalite Rp 10.000: Berapa Beban Subsidi yang Ditanggung Negara?
Kredit Bank Mandiri di Jawa Barat Tumbuh 14,7%, Kalahkan Rata-Rata Pasar
Makanan Sering Lengket di Wajan? Ini 5 Solusi Ampuh & Cara Belanja Wajan Anti-Lengket Terbaik!
Rupiah Menguat di Tengah Pelemahan IHSG: Pasar Respons Keputusan Fed dan Antisipasi Risiko Domestik
PPP Jabar Siapkan 100 Kader Madya, Bekali Strategi Politik dan Pengabdian Masyarakat
Islam Indonesia dan Eksodus Intelektual Muda: Ketika Bertanya Dianggap Ancaman
Dari Raksasa Impor ke Pengekspor Potensial: Jejak Langkah Indonesia Capai Surplus Beras 4,7 Juta Ton
Kebijakan Tarif AS Picu Banjir Impor, Industri Tekstil dan Furnitur Indonesia Tertekan
IHSG Akhiri Perdagangan di Zona Merah, Sektor Perbankan Jadi Penahan Tekanan
Defisit APBN Tembus Rp560,3 Triliun hingga November, Pemerintah Pastikan Masih Sesuai Jalur