Mengurai Paradoks Literasi Indonesia: Dari Melek Aksara 95% Menuju Keterampilan Kritis di Era Digital

photo author
- Kamis, 25 September 2025 | 06:00 WIB
Mengatasi Krisis Literasi
Mengatasi Krisis Literasi

PROJABAR.COM - Pencapaian tingkat melek aksara dewasa Indonesia di atas 95% patut diapresiasi, namun ini bukanlah garis finis. Tantangan sesungguhnya justru muncul setelahnya, membangun literasi fungsional dan budaya baca yang kuat di era digital. Untuk menjawab kompleksitas tantangan ini, peran Pemerintah Indonesia sebagai koordinator utama bagi berbagai lembaga internasional menjadi kunci penentu kesuksesan.

Apa tantangan literasi Indonesia yang sebenarnya? Lanskap literasi nasional dihadapkan pada paradoks. Di satu sisi, angka melek aksara dasar sangat tinggi. Di sisi lain, budaya baca dan literasi kritis masih lemah, yang diperburuk oleh gempuran disinformasi di ruang digital. Problemnya bukan lagi pada ability to read (kemampuan membaca), tetapi pada practice of reading (kebiasaan membaca) dan critical engagement (keterlibatan kritis). Kelompok masyarakat terpencil, lansia, penyandang disabilitas, dan penutur bahasa minoritas tetap menjadi populasi yang rentan tertinggal, baik dalam literasi konvensional maupun digital.

Siapa saja aktor internasional yang berperan? Setiap lembaga internasional memiliki ceruk dan keunggulan komparatifnya masing-masing. UNICEF fokus pada literasi dasar untuk anak-anak di daerah terpencil seperti Papua, dengan program Early Grade Literacy (EGL) yang berhasil menurunkan proporsi "non-pembaca" dari 62% menjadi 26% di sekolah sasaran. Sementara USAID lewat inisiatif All Children Reading mendorong inovasi teknologi pendidikan, seperti pengembangan buku digital dan materi aksesibel untuk disabilitas. Bank Dunia berperan pada level makro dengan reformasi sistemik dan pembiayaan kebijakan. Adapun UNESCO, berperan sebagai pemandu normatif, pengembang Literasi Media dan Informasi (LMI), dan penguat inovasi lokal seperti Institut Sokola.

Mengapa koordinasi yang dipimpin pemerintah sangat krusial? Tanpa koordinasi yang efektif, intervensi dari berbagai lembaga ini berpotensi tumpang tindih atau tidak terhubung, sehingga tidak menciptakan jalur pembelajaran yang berkesinambungan bagi seorang anak dari tingkat dasar hingga dewasa. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Bappenas, perlu menjadi conductor yang memastikan setiap "pemain orkestra" internasional berkontribusi pada simfoni strategi literasi nasional yang koheren.

Kapan momentum yang tepat untuk memperkuat koordinasi ini? Saat ini adalah waktu yang tepat, mengingat Kurikulum Merdeka yang fleksibel membuka peluang untuk integrasi kompetensi baru, seperti LMI dan pendekatan kontekstual ala Sokola, ke dalam sistem pendidikan formal.

Bagaimana langkah strategis yang dapat diambil? Rekomendasi kebijakan yang mengemuka adalah membentuk Dewan Koordinasi Literasi Multi-Pemangku Kepentingan. Dewan ini bertugas menyelaraskan program, menghindari duplikasi, dan memastikan sinergi. Misalnya, memastikan kerja dasar UNICEF di Papua mempersiapkan siswa untuk menerima kurikulum LMI yang diusung UNESCO, dengan menggunakan alat-alat teknologi yang dikembangkan melalui hibah USAID, dalam sebuah sistem pendidikan yang diperkuat oleh reformasi kebijakan Bank Dunia.

Dengan demikian, masa depan literasi Indonesia tidak hanya bergantung pada satu lembaga, tetapi pada kapasitas pemerintah untuk memetakan, memimpin, dan memadukan seluruh kekuatan dan keahlian yang ada secara strategis.

Baca Juga: Strategi Belajar dan Literasi Demokrasi di Tengah Gejolak Sosial

Sumber Data:

(mcbsa)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

7 Universitas Terbaik di Bandung

Sabtu, 15 November 2025 | 12:15 WIB
X