Ketika Alam Menegur Manusia: Ayat Kauniyah atas Keserakahan dan Kezaliman

photo author
- Selasa, 2 Desember 2025 | 09:42 WIB
Perempuan dan anak-anak, dua kategori yang termasuk dalam kelompok rentan saat bencana alam menurut BPBD. (Gemini AI Generated)
Perempuan dan anak-anak, dua kategori yang termasuk dalam kelompok rentan saat bencana alam menurut BPBD. (Gemini AI Generated)

Oleh; Arman Nurhakim Maulana, S.Ag., Sekretaris Bidang Pendidikan dan Kebudayaan PP Hima Persis

PROJABAR.COM -Beberapa hari terakhir, duka kembali menyelimuti negeri ini. Banjir bandang meluap, tanah longsor merenggut pemukiman, jalan terputus, rumah hanyut, dan nyawa pun melayang. Sumatra dan Kalimantan dua wilayah yang selama ini disebut sebagai paru-paru Indonesia kembali menangis dalam diam. Deras air seolah membawa amarah, tanah kehilangan daya cengkeramnya, dan hutan yang dahulu menjadi benteng kini tinggal cerita. Kita pun bertanya dalam batin: apakah semua ini sekadar bencana alam, ataukah ini adalah ayat kauniyah, tanda-tanda Allah yang tampil dalam rupa peristiwa alam sebagai teguran atas perilaku manusia?

Allah sendiri telah mengingatkan bahwa kerusakan di darat dan di laut bukanlah peristiwa tanpa sebab. Al-Qur’an menegaskan bahwa kerusakan itu muncul karena ulah tangan manusia, agar mereka merasakan sebagian akibat perbuatannya dan mau kembali ke jalan yang benar. Para mufasir seperti Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kerusakan itu mencakup kekeringan, banjir, gagal panen, wabah penyakit, serta berbagai bencana yang lahir dari dosa-dosa publik dan kezaliman kolektif. Sementara Al-Qurthubi menegaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan keterkaitan yang sangat erat antara kerusakan moral manusia dan kerusakan ekologis alam. Ketika kerakusan menjadi sistem, ketika ketamakan dilegalkan melalui kebijakan, dan ketika kejahatan dilindungi oleh kuasa, maka alam tidak lagi berdiri netral; ia berubah menjadi saksi sekaligus media peringatan.

Baca Juga: Bencana Melanda Jawa: Banjir dan Longsor Terjang Sukabumi, Ratusan Warga Cisolok Mengungsi dan Kerugian Meluas di Jabar, Jateng, dan Jatim

Dalam pandangan iman, alam bukanlah benda mati yang bergerak tanpa makna. Ia tunduk sepenuhnya kepada perintah Allah dan dapat menjadi sarana rahmat sekaligus sarana teguran. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa ketika kemaksiatan tampak di tengah suatu kaum lalu tidak dicegah, maka azab hampir saja diturunkan secara merata. Para ulama menjelaskan bahwa azab tidak selalu hadir dalam bentuk kehancuran total, tetapi kerap muncul sebagai bencana berulang, ketidakstabilan sosial, kerusakan sistemik, dan penderitaan kolektif yang berlangsung lama. Apa yang kita saksikan hari ini tidak bisa dilepaskan dari pembabatan hutan secara masif, tambang yang rakus tanpa reklamasi, alih fungsi lahan yang melampaui batas, sungai yang dipersempit dan dicemari, serta kebijakan yang lebih berpihak kepada modal dibanding keselamatan rakyat. Banjir tidak jatuh dari langit begitu saja; ia sesungguhnya diundang oleh tangan-tangan manusia sendiri.

Dalam khazanah Islam dikenal dua jenis ayat: ayat qauliyah berupa firman-firman Allah dalam Al-Qur’an, dan ayat kauniyah berupa tanda-tanda-Nya di alam semesta. Gempa, banjir, longsor, kebakaran hutan, dan wabah termasuk dalam ayat kauniyah. Ia tidak selalu berarti hukuman mutlak, tetapi selalu mengandung pesan peringatan. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa musibah memiliki dua wajah sekaligus: sebagai ujian bagi orang beriman dan sebagai peringatan keras bagi pelaku kezaliman. Jika setelah peringatan tidak lahir taubat, tidak ada perbaikan, dan tidak terjadi perubahan sistem, maka peringatan itu bisa naik tingkat menjadi azab yang lebih luas dan lebih menyakitkan.

Karena itu, ayat kauniyah hari ini tidak cukup dibaca sebagai renungan personal semata, tetapi juga sebagai teguran bagi kezaliman struktural. Allah melarang manusia condong kepada para pelaku kezaliman, karena akibatnya sangat mengerikan. Kezaliman hari ini tidak selalu hadir dalam bentuk senjata dan pertumpahan darah. Ia sering tampil dalam rupa tanda tangan kebijakan, izin HGU, konsesi tambang, suap proyek, serta pembiaran terhadap berbagai pelanggaran. Banjir bandang dan longsor yang terjadi berulang bukan sekadar bencana, melainkan hasil akumulasi dosa kebijakan. Yang memanen keuntungan adalah elite dan korporasi, sementara yang menanggung akibatnya adalah rakyat kecil. Inilah wajah paling nyata dari ketidakadilan ekologis.

Para ulama besar pun telah lama mengingatkan hubungan antara keadilan dan keseimbangan alam. Ibnu Taymiyyah menegaskan bahwa jika kezaliman merajalela, maka keseimbangan alam akan rusak, karena Allah menegakkan langit dan bumi dengan keadilan. Sementara Sayyid Qutb menjelaskan bahwa alam ini berjalan di atas sistem hukum Allah; ketika manusia merusak prinsip keadilan, alam akan merespons dengan ketidakseimbangan yang justru menyakiti manusia itu sendiri. Sains modern pun menguatkan hal ini: deforestasi mempercepat limpasan air, hilangnya daerah resapan menaikkan volume banjir, dan tambang terbuka merusak kontur tanah sehingga memicu longsor. Semua itu menegaskan bahwa bencana hari ini bukan semata “takdir alam,” tetapi akibat langsung dari keserakahan sistemik.

Baca Juga: MenESDM Bahili Akui Dosa Lingkungan Masa Lalu, Sampaikan Belasungkawa atas Bencana Sumatera

Allah juga mengingatkan bahwa musibah yang menimpa manusia adalah akibat dari perbuatan tangan mereka sendiri, meskipun Allah masih memaafkan sebagian besar kesalahan. Artinya, tidak semua dosa langsung dibalas, bahkan banyak yang masih ditangguhkan. Apa yang kita rasakan hari ini belumlah seluruh akibat dari perbuatan manusia. Maka bencana seharusnya melahirkan tiga kesadaran besar: taubat spiritual untuk kembali kepada Allah, evaluasi moral untuk mengoreksi gaya hidup yang rakus dan konsumtif, serta perlawanan struktural terhadap sistem yang menghancurkan alam dan menindas rakyat. Tanpa tiga hal ini, bencana hanya akan berlalu sebagai berita, bukan sebagai pelajaran peradaban.

Banjir dan longsor hari ini bukan hanya air dan tanah yang bergerak. Ia adalah seruan sunyi dari langit melalui bahasa alam. Ia mengetuk kesadaran kita bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja bukan hanya secara ekologis, tetapi juga secara moral. Jika alam sudah berbicara tetapi manusia tetap tuli, maka sejarah selalu menunjukkan satu hal yang sama: peringatan akan kembali datang dengan suara yang lebih keras. Semoga kita tidak menunggu hingga air terakhir merendam nurani dan tanah terakhir mengubur kesadaran.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Pebrian Erdiana Himawann

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X