Dari Rumah ke RW: Bandung Bangun Revolusi Sampah, 1.597 Pendamping Siap Ubah Wajah Kota

photo author
- Senin, 13 Oktober 2025 | 23:50 WIB
Ilustrasi pembuangan sampah ke TPA Sarimukti. (Pexels/Tom Fisk)
Ilustrasi pembuangan sampah ke TPA Sarimukti. (Pexels/Tom Fisk)

PROJABAR.COM – Di sebuah RW di pinggiran Kota Bandung, tumpukan sampah yang dulu menebar bau kini perlahan berubah jadi ladang kompos. Warga mulai terbiasa memilah sisa dapur dan mengolahnya di halaman kecil milik bersama.

Wajah baru Bandung yang tengah dibangun melalui gerakan besar pengelolaan sampah berbasis sumber. Pemerintah Kota Bandung bersiap merekrut 1.597 pendamping pemilah sampah, satu untuk setiap RW yang akan menjadi ujung tombak revolusi kecil ini.

Baca Juga: Bandung Rekrut 1.597 Pendamping Pemilah Sampah, Farhan Targetkan Setiap RW Jadi Pusat Pengolahan Mandiri
Para pendamping tersebut akan menjadi pendamping bagi masyarakat, mengajari cara memilah, mengelola, dan memanfaatkan kembali sampah dari rumah tangga.

“Program ini bukan sekadar soal mengangkut sampah, tapi mengubah perilaku warga. Setiap RW harus punya pendamping yang membimbing warga agar paham mana sampah organik, mana yang anorganik,” ujar Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, Sabtu (11 Oktober 2025).

Farhan menegaskan, pendekatan baru ini menempatkan masyarakat sebagai pusat solusi. “Secara teori ada sepuluh jenis sampah, tapi cukup dua dulu. Organik diolah habis di RW, anorganik dikirim ke bank sampah. Tidak ada lagi yang numpuk di TPA,” katanya.

Langkah ini muncul di tengah krisis sampah yang masih menghantui Bandung. Setiap hari, kota ini menghasilkan sekitar 500 ton sampah. Meski 190 ton sudah berhasil diolah di wilayah, sisanya masih harus dikirim ke TPA Sarimukti yang kapasitasnya kian terbatas.

Kini, strategi baru disusun dengan menjadikan setiap kelurahan pusat pengolahan sampah. “Pusat pengolahan harus ada di kelurahan agar tidak ada penumpukan di TPS. Kami ingin setiap wilayah mandiri dalam mengolah sampah,” kata Farhan.

Sampah organik akan diolah menjadi kompos dan pakan maggot, sedangkan sampah anorganik disalurkan ke bank sampah atau pusat daur ulang. Program ini diharapkan bisa memangkas setidaknya 300 ton sampah per hari yang sebelumnya dikirim ke TPA.

Namun, perjalanan menuju Bandung bebas sampah tidak semulus teori. Resistensi warga terhadap lokasi pengolahan masih jadi tantangan utama. Banyak yang menolak kehadiran pusat pengolahan di dekat permukiman karena khawatir soal bau dan kenyamanan lingkungan.

“Risikonya memang ada resistensi masyarakat karena bau dan penguapan. Tapi kalau tidak dimulai, masalah sampah tidak akan pernah selesai,” kata Farhan dengan nada tegas.

Pemkot Bandung kini menggandeng akademisi dan komunitas lingkungan untuk memperkuat edukasi masyarakat. Pendamping pemilah yang direkrut nanti akan dibekali pelatihan komunikasi, manajemen sampah, hingga teknik pengomposan sederhana.

Baca Juga: Seperti Jabodetabek, Bandung Segera Punya KRL! Jalur Padalarang–Cicalengka Siap Dialiri Listrik, Waktu Tempuh Bakal Terpangkas Separuh

Farhan menyadari, keberhasilan program ini bergantung pada kolaborasi. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian.

“Kuncinya kolaborasi. Kalau semua RW bergerak, kita bisa mengurangi sampah di sumbernya. Target kami, tidak ada lagi sampah tersisa di kota, semua diolah habis di tingkat RW dan kelurahan,” ujarnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Aya Amalna

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X