Polemik 'Pemotongan untuk Pemerataan': BLT Rp900 Ribu Jadi Rp200 Ribu, Warga Bandung Barat Pecah Belah

photo author
- Jumat, 12 Desember 2025 | 11:09 WIB
Ketegangan Bansos Bandung Barat: Dugaan Pemotongan BLT Picu Konflik Warga (Tangkapan layar Facebook Group Info Cikalong Wetan.)
Ketegangan Bansos Bandung Barat: Dugaan Pemotongan BLT Picu Konflik Warga (Tangkapan layar Facebook Group Info Cikalong Wetan.)

PROJABAR.COM - Bandung Barat - Sejumlah desa di Kabupaten Bandung Barat mengalami eskalasi konflik sosial yang kompleks akibat dugaan penyimpangan dalam distribusi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Polemik ini menyingkap kerentanan tata kelola pemerintahan desa, terutama ketika mekanisme distribusi sumber daya publik tidak dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan regulatif.
Baca Juga: Ketegangan di Masyarakat: Warga yang Pro Pemotongan BLT Berunjuk Rasa, Kasus Butuh Penjelasan

Sirkulasi Keluhan di Ruang Digital dan Produksi Ketidakpercayaan

Tangkapan Layar Terkait Kasus Bansos Di Desa Cisomang Barat dan Tenjo Laut (2)
Tangkapan Layar Terkait Kasus Bansos Di Desa Cisomang Barat dan Tenjo Laut (2) (mcbsa)
Sejak akhir November 2025, keluhan mengenai dugaan pemotongan BLT menyebar cepat melalui kanal Facebook Info Cikalongwetan, yang berfungsi sebagai ruang publik digital bagi warga setempat. Laporan warga dari Cisomang Barat dan Tenjo Laut menunjukkan adanya pemotongan Rp700.000 dari total manfaat Rp900.000, sehingga mereka hanya menerima Rp200.000 tunai dan 25 kilogram beras. Pola pemotongan yang masif dan seragam ini memunculkan dugaan bahwa terdapat kebijakan terstruktur di luar ketentuan formal.

Keluhan semakin menguat setelah beberapa warga melaporkan bahwa kartu Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) mereka masih disimpan oleh aparat desa. Praktik ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai potensi pelanggaran terhadap standar operasional dan asas nondominasi dalam penyaluran bantuan publik.

Surat Pernyataan Terkait kasus bansos di Desa Cisomang Barat dan Tenjo Laut (30/11/2025)
Surat Pernyataan Terkait kasus bansos di Desa Cisomang Barat dan Tenjo Laut (30/11/2025) (mcbsa)
Ketidakpastian semakin diperuncing oleh beredarnya surat pernyataan yang mewajibkan penerima BLT untuk membagi manfaat dengan warga lain. Dokumen ini dianggap problematis karena tidak jelas asal-usulnya dan tidak memiliki legitimasi formal suatu indikasi adanya upaya informal untuk mengatur ulang distribusi bantuan tanpa rujukan regulatif yang sah.
Baca Juga: Dugaan Penyimpangan Bansos di Desa Cisomang Barat dan Tenjo Laut: Warga Protes, Surat Pernyataan Misterius Muncul

Respons Pemerintah Desa dan Defisit Akuntabilitas Publik

Penjelasan pemerintah desa yang disampaikan melalui media sosial menyebut bahwa pemotongan merupakan bagian dari program "pemerataan", di mana sebagian dana dialokasikan ulang dalam bentuk beras untuk warga yang tidak terdata sebagai penerima bantuan lain. Namun, pernyataan tersebut tidak disertai:

  • dokumentasi kebijakan ,

  • risalah musyawarah,

  • basis data penerima, atau

  • argumentasi hukum yang memadai.

Ketiadaan bukti administratif membuat klaim pemerintah desa kehilangan bobot legitimasi. Alih-alih meredakan ketegangan, penjelasan tersebut memperkuat persepsi bahwa pemerintah desa menerapkan kebijakan redistributif tanpa mandat formal, sehingga memicu fragmentasi sosial antara kelompok pro-pemerataan dan kelompok yang menuntut kepatuhan pada prosedur hukum.

Mobilisasi Kolektif dan Pembentukan Polarisasi Warga

Ketegangan di Masyarakat: Warga yang Pro Pemotongan BLT Berunjuk Rasa, Kasus Butuh Penjelasan
Ketegangan di Masyarakat: Warga yang Pro Pemotongan BLT Berunjuk Rasa, Kasus Butuh Penjelasan (mcbsa, Projabar.com)
Pada 10 Desember 2025, polarisasi mencapai titik kritis ketika kelompok pro-pemerataan dari tiga RW melakukan mobilisasi ke rumah warga yang mengkritik kebijakan desa. Peristiwa tersebut memperlihatkan bagaimana konflik administratif dapat berubah menjadi konflik horizontal ketika ruang komunikasi formal tidak bekerja.

Kelompok pro-pemerataan menilai kritik publik terutama yang bersumber dari unggahan anonimsebagai ancaman terhadap program berbagi yang mereka nilai inklusif. Sebaliknya, kelompok penolak menyatakan bahwa hak-hak penerima BLT bersifat individual dan tidak dapat dikurangi tanpa dasar hukum eksplisit.

Fenomena ini memperlihatkan dinamika sosial di mana warga memaknai program bansos bukan semata sebagai distribusi materi, tetapi sebagai representasi keadilan, hierarki kekuasaan lokal, dan akses terhadap hak sosial-ekonomi.
Baca Juga: Ketegangan Meningkat: Warga Pro Pemerataan BLT Geruduk Pihak yang Menolak Kebijakan Desa

 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muhammad Cikal Bintang Sayyid Arrazy

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X