PROJABAR.COM - Bandung Barat - Sejumlah desa di Kabupaten Bandung Barat mengalami eskalasi konflik sosial yang kompleks akibat dugaan penyimpangan dalam distribusi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Polemik ini menyingkap kerentanan tata kelola pemerintahan desa, terutama ketika mekanisme distribusi sumber daya publik tidak dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan regulatif.
Baca Juga: Ketegangan di Masyarakat: Warga yang Pro Pemotongan BLT Berunjuk Rasa, Kasus Butuh Penjelasan
Sirkulasi Keluhan di Ruang Digital dan Produksi Ketidakpercayaan
Keluhan semakin menguat setelah beberapa warga melaporkan bahwa kartu Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) mereka masih disimpan oleh aparat desa. Praktik ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai potensi pelanggaran terhadap standar operasional dan asas nondominasi dalam penyaluran bantuan publik.
Baca Juga: Dugaan Penyimpangan Bansos di Desa Cisomang Barat dan Tenjo Laut: Warga Protes, Surat Pernyataan Misterius Muncul
Respons Pemerintah Desa dan Defisit Akuntabilitas Publik
Penjelasan pemerintah desa yang disampaikan melalui media sosial menyebut bahwa pemotongan merupakan bagian dari program "pemerataan", di mana sebagian dana dialokasikan ulang dalam bentuk beras untuk warga yang tidak terdata sebagai penerima bantuan lain. Namun, pernyataan tersebut tidak disertai:
-
dokumentasi kebijakan ,
-
risalah musyawarah,
-
basis data penerima, atau
-
argumentasi hukum yang memadai.
Ketiadaan bukti administratif membuat klaim pemerintah desa kehilangan bobot legitimasi. Alih-alih meredakan ketegangan, penjelasan tersebut memperkuat persepsi bahwa pemerintah desa menerapkan kebijakan redistributif tanpa mandat formal, sehingga memicu fragmentasi sosial antara kelompok pro-pemerataan dan kelompok yang menuntut kepatuhan pada prosedur hukum.
Mobilisasi Kolektif dan Pembentukan Polarisasi Warga
Kelompok pro-pemerataan menilai kritik publik terutama yang bersumber dari unggahan anonimsebagai ancaman terhadap program berbagi yang mereka nilai inklusif. Sebaliknya, kelompok penolak menyatakan bahwa hak-hak penerima BLT bersifat individual dan tidak dapat dikurangi tanpa dasar hukum eksplisit.
Fenomena ini memperlihatkan dinamika sosial di mana warga memaknai program bansos bukan semata sebagai distribusi materi, tetapi sebagai representasi keadilan, hierarki kekuasaan lokal, dan akses terhadap hak sosial-ekonomi.
Baca Juga: Ketegangan Meningkat: Warga Pro Pemerataan BLT Geruduk Pihak yang Menolak Kebijakan Desa
Artikel Terkait
Cek Penerima BLT Kesra Rp900.000 di Sini: Panduan Lengkap dan Antisipasi Penipuan
Resmi Dicairkan, BLT Kesra Rp900.000 Mulai Disalurkan ke 35 Juta Keluarga
Penggantian Dana Bansos 900 ribu Jadi Sembako Disoroti Warga Bandung Barat!!!
Warga Cisomang Barat Pertanyakan Pemotongan Bansos, Desa Diminta Lebih Terbuka
Dugaan Penyimpangan Bansos di Desa Cisomang Barat dan Tenjo Laut: Warga Protes, Surat Pernyataan Misterius Muncul
Kontroversi Pemotongan BLT: Ketika Ideologi Pancasila ‘Keadilan Sosial’ Dipakai Sebagai Dalih
Momentum Berbenah: Saatnya Masyarakat Desa Mengevaluasi Arah Kepemimpinan Menjelang Pilkades
Ketegangan di Masyarakat: Warga yang Pro Pemotongan BLT Berunjuk Rasa, Kasus Butuh Penjelasan
Ketegangan Meningkat: Warga Pro Pemerataan BLT Geruduk Pihak yang Menolak Kebijakan Desa