PROJABAR.COM- Pernahkah kamu mendengar tentang aphelion? Mungkin istilah ini terdengar agak teknis atau ilmiah, tapi sebenarnya, ini adalah salah satu momen menarik dalam perjalanan tahunan Bumi mengelilingi Matahari. Bayangkan saja, setiap tahun ada satu titik di mana planet kita ini berada pada jarak terjauhnya dari sang bintang induk, Matahari. Nah, itulah yang disebut aphelion. Kebalikannya, ketika kita paling dekat dengan Matahari, itu namanya perihelion.
Biasanya, aphelion untuk Bumi terjadi sekitar awal Juli. Coba pikirkan sebentar: Juli adalah puncaknya musim panas di sebagian besar belahan bumi utara, termasuk Indonesia yang sedang mengalami musim kemarau dengan cuaca yang terik. Aneh, kan? Kita sedang paling jauh dari Matahari, tapi kok rasanya malah semakin panas? Ini adalah salah satu kesalahpahaman paling umum yang seringkali membingungkan banyak orang.
Mengapa Bumi Jauh-Dekat dengan Matahari?
Untuk memahami aphelion, kita harus sedikit membahas tentang bagaimana Bumi bergerak mengelilingi Matahari. Kebanyakan orang mungkin membayangkan orbit Bumi itu bulat sempurna, seperti lingkaran yang digambar dengan jangka. Namun, kenyataannya sedikit berbeda. Orbit Bumi itu tidak bulat sempurna, melainkan elips, atau agak lonjong, mirip bentuk telur puyuh yang sedikit pipih.
Baca Juga: Berjalan Bersama Luka: Sembuh Tak Harus Lupa, Pulih Tak Harus Kembali Seperti Dulu
Karena bentuk orbitnya yang elips inilah, jarak Bumi ke Matahari tidak selalu sama setiap saat. Ada kalanya kita lebih dekat, ada kalanya kita lebih jauh. Titik terdekat itulah perihelion, dan titik terjauhnya adalah aphelion. Jarak rata-rata Bumi ke Matahari sekitar 150 juta kilometer. Tapi saat perihelion, kita bisa mendekat hingga sekitar 147 juta kilometer. Sebaliknya, saat aphelion, kita bisa menjauh sampai sekitar 152 juta kilometer. Selisih 5 juta kilometer itu lumayan jauh, lho!
Jadi, ketika kita memasuki awal Juli dan merasakan hawa panas membara, sesungguhnya kita sedang menikmati "jarak jauh" dengan Matahari. Agak ironis, ya?
Mitos dan Fakta: Aphelion Bukan Penyebab Musim
Nah, ini dia poin penting yang seringkali salah dipahami. Banyak yang mengira bahwa panasnya musim panas atau dinginnya musim dingin disebabkan oleh jarak Bumi ke Matahari. Logikanya, kalau dekat Matahari, pasti panas; kalau jauh dari Matahari, pasti dingin. Tapi, seperti yang kita lihat dengan fenomena aphelion di bulan Juli, logika ini tidak berlaku sepenuhnya.
Musim-musim di Bumi, seperti musim semi, panas, gugur, dan dingin, bukan disebabkan oleh jarak Bumi ke Matahari. Penyebab utamanya adalah kemiringan sumbu rotasi Bumi. Bayangkan Bumi kita ini miring sekitar 23,5 derajat saat berputar pada porosnya, seperti gasing yang agak miring. Kemiringan inilah yang membuat berbagai belahan Bumi menerima intensitas sinar Matahari yang berbeda sepanjang tahun.
Saat belahan Bumi utara miring ke arah Matahari, ia menerima lebih banyak sinar Matahari langsung, sehingga terjadilah musim panas di utara. Pada saat yang sama, belahan Bumi selatan miring menjauhi Matahari, sehingga mengalami musim dingin. Enam bulan kemudian, situasinya berbalik. Belahan selatan miring ke arah Matahari dan mengalami musim panas, sementara belahan utara mengalami musim dingin.
Baca Juga: Belajar Memaafkan Diri Sendiri: Luka Lama Tak Perlu Disimpan Selamanya
Jadi, meskipun saat aphelion Bumi berada paling jauh dari Matahari, kemiringan sumbu rotasi Bumi lah yang mendominasi dalam menentukan musim. Di belahan bumi utara, meskipun kita lebih jauh dari Matahari di bulan Juli, kemiringan sumbu membuat sinar Matahari jatuh lebih tegak lurus, sehingga pemanasan lebih efektif. Itu sebabnya kita merasakan musim panas yang terik.
Pengaruh Aphelion
Meskipun aphelion tidak menyebabkan musim, apakah ada dampaknya sama sekali? Tentu saja ada, tapi tidak terlalu signifikan bagi kehidupan sehari-hari kita. Jarak yang lebih jauh berarti sinar Matahari yang sampai ke Bumi sedikit lebih lemah. Saat aphelion, intensitas radiasi Matahari yang diterima Bumi sekitar 7% lebih rendah dibandingkan saat perihelion.